Laporkan Masalah

Aspek hukum pemberian jaminan dalam perjanjian kredit bank di Indonesia

HASMIYARTI, Sri, Prof. Emmy Pangaribuan, SH

2007 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)

Penelitian dalam tulisan ini bertujuan untuk mengetahui aspek hukum pemberian jaminan dalam perjanjian kredit bank di Indonesia serta untuk mengetahui sejauh mana perlindungan hukum bagi para pihak (bank selaku kreditor dan perorangan atau badan hukum selaku debitor) dalam perjanjian kredit perbankan. Titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Namun demikian penulis juga melakukan penelitian lapangan untuk mendukung kajian dari data sekunder tersebut. Dalam praktek masih sering terdapat kesalahan mengartikan perjanjian kredit dan pengakuan hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR mengenai grosse akta. Biasanya agar perjanjian kredit yang memuat syarat dan ketentuan yang panjang dapat dieksekusi secara cepat dalam hal debitur wanprestasi, maka perjanjian kredit tersebut dibuat dalam akta notaris dan diberi irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Padahal grosse akta yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR selain harus memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” juga mempunyai persyaratan tersendiri. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masih banyak perjanjian yang tidak dibuat dalam bentuk akta notaris padahal betapa pentingnya pengamanan dalam pemberian kredit bank, sehingga pada saat jatuh tempo kredit dan si debitur wanprestasi bank dapat mengeksekusi jaminan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Agar kepentingan bank secara yuridis dapat terlindungi secara benar khususnya untuk mengamankan hak-hak dan kepentingan bank dalam hal debitur wanprestasi, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 jo Pasal 1866 KUHPerdata, bank memerlukan alat bukti sempurna, yaitu perjanjian dibuat dalam bentuk AKTA OTENTIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Akta Otentik diperlukan dalam kredit perbankan karena Pasal 1870 KUHPerdata menentukan : “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnyaahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Dalam praktek peradilan, meskipun perjanjian sehubungan dengan pemberian kredit bank di Indonesia sudah dibuat dalam bentuk akta otentik ternyata perjanjianperjanjian tersebut tidak dapat dieksekusi sesuai peraturan yang berlaku.

The research aims to study the legal aspect of guarantee submission in bank credit agreement in Indonesia and to investigate the extent to which legal protection for the parties (bank as creditor and individual or legal entity as debtor) applies in that agreement. It focuses on library research but also conducts field research for support. In practice, there are some mistakes in interpreting credit contract and debt acknowledgement as stipulated in Article 224 of HIR on Grosse Act. In order to easily execute a credit contract that contains a long list of requirements and conditions when a failure of obligation happens, the contract is usually written in a notary act and given a statement “For the sake of Justice in the name of God the Almighty”. In fact, however, the Grosse act as stipulated in Article 224 of the HIR should have its own requirements in addition to the statement “For the sake of justice in the name of God the Almighty”. From the findings, the research concludes that there are still many agreements made not in a notary act despite the fact that security is very crucial in credit disbursement, such that the bank may execute the guarantee based on the regulations in effect at any time of maturity date but the debtor fails to carry out the obligation. In order to protect the bank’s rights and interests whenever debtors fail to carry out their obligation, Article 1865 jo. Article 1866 of the Civil Code requires that the bank has a perfect evidence for proof in the form of an authentic act as stipulated in Article 1868 of the Civil Code. An authentic act is needed in bank credit as Article 1870 of the Civil Code regulates: “an authentic act gives among the parties including their beneficiaries a perfect evidence for what it contains”. In the judicial practice, despite the form of credit contract as an authentic act, the agreement cannot be executed as according to the regulation in effect.

Kata Kunci : Perjanjian Kredit, Jaminan, Akta Otentik, Credit Agreement, Guaranty, Authentic Act


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.