Laporkan Masalah

Refleksi nilai-nilai budaya Bugis Makassar dalam Drama Samindara Karya Aspar :: Tinjauan semiotik

NURSA'ADAH, St, Prof.Dr. Imran T. Abdullah

2006 | Tesis | S2 Sastra

Penelitian dengan judul ”Refleksi Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar dalam Drama Samindara: Tinjauan Semiotik” bertujuan untuk melihat refleksi nilai-nilai budaya Bugis Makassar dalam drama Samindara melalui kode sosial, kode budaya, dan kode sastra masyarakat Bugis Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis teks drama Samindara melalui unsur-unsur drama sebagai kode dan kode-kode yang berfungsi sebagai tanda yang signifikan dengan teori semiotika Umberto Eco. Peneliti menganalisis kode dalam drama Samindara melalui sistem pelapisan sosial masyarakat Bugis, mitos to manurung, sistem pangngaderreng, dan tradisi kesastraan masyarakat Bugis Makassar yang diperoleh melalui referensi pustaka dan informasi langsung dari tokoh adat sebagai latar penciptaan karya ini. Hasil penelitian ini menunjukkan ketegangan antara nilai-nilai budaya lama dengan nilai-nilai budaya baru; dalam pengertian bahwa nilai-nilai budaya lama belum bisa ditinggalkan, sementara nilai-nilai budaya baru tidak bisa ditolak atau dengan kata lain ada yang bersifat afirmatif dan ada pula yang bersifat inovatif. Nilai-nilai budaya itu di antaranya adalah nilai budaya sipakatau, lempuq, dan siriq. Nilai budaya sipakatau yang siamasei dan sipakalebbi terefleksi melalui tokoh Datu. Kehadiran tokoh Datu, Boto/rakyat dan Dayang menjadi tanda yang menunjukkan pengakuan terhadap tiga pelapisan sosial dalam masyarakat Sulawesi Selatan yaitu arung diwakili oleh Datu, to maradeka diwakili oleh Boto/Rakyat, dan ata diwakili oleh tokoh Dayang. Namun, sikap Datu yang mappakalebbi terhadap Para Rakyat dan Dayang menjadi tanda pula bahwa mereka sangat menjunjung nilai-nilai sipakatau tanpa memandang stratifikasi sosial seseorang. Gagasan persamaan derajat antarmanusia dengan menjunjung nilai sipakatau ini semakin jelas ketika Datu tidak memberikan gelar kepada kedua anaknya (Baso dan Samindara) sebagaimana biasanya dalam keluarga Datu dan masyarakat Sulawesi Selatan. Nilai lempuq ’jujur’ direfleksikan melalui tokoh utama Baso dan tokoh figuran Dayang- Dayang. Kode Baso dan Dayang menunjukkan tanda bahwa kebenaran bukan hanya milik arung, tetapi juga milik ata. Dalam menjunjung nilai lempuq ini, tokoh Dayang menunjukkan keberaniannya melanggar mitos dan tradisi serta merelakan jiwanya demi menjunjung nilai lempuq. Sementara penegakan nilai siriq direfleksikan melalui tokoh Datu dan tokoh Baso dalam drama Samindara. Penegakkan siriq Datu (raja) dengan cara mengasingkan kedua buah hati yang dicintainya dari istana, sedangkan Baso menegakkan siriq dengan memukul Samindara (adik kandungnya) sampai meninggal karena merasa mate siriq ’kehilangan harga diri’ lantaran lamarannya ditolak. Penegakan nilai-nilai siriq dengan cara yang tidak humanis menjadi fenomenal dalam masyarakat. Tindakan kriminal bahkan mendapat pembenaran dengan bendera ”atas nama siriq”. Penegakan siriq dengan cara seperti ini didistorsi dalam drama Samindara secara inovatif. Penegakan siriq, dengan mengabaikan nilai-nilai pesse ’nilai-nilai kemanusiaan’, akan mengakibatkan bencana dan melapetaka, bahkan dapat mendegradasi seseorang menjadi oloq-oloq ’binatang’. Oleh karena itu, pemahaman terhadap nilai-nilai budaya siriq seharusnya dipandang secara oposisional dialektik dengan nilai-nilai pesse.

The present study is titled ‘Reflection of Bugines Macassarnes Cultural Values in a Drama of Samindara by Aspar: A Semiotic Review’ having an aim at looking at the reflection of literary codes of South Celebes. The study was done by anlyzing texts of drama Samindara through a social stratum system of Bugisnese, mythos to manurung, a system of pangngaderreng, and literature traditions of Bugines Macassarnes obtained through bibliographical references and direct information from customary figures as a background of this working creation. Results of the study demonstrated a strained situation between the old cultural values and new cultural values; in the mean that the old cultural values had not been left out yet while the new cultural values can not be rejected or in other words it is affirmative in nature and some innovative ones. Some of those cultural values are cultures of sipakatau, lempuq and siriq. The sipakatau cultural values those are siamasei and sipakalebbi reflected through figures of Datu. Presences of the figures of Datu, Boto/lay people and dayang are signs showing a confession to three social stratum in the Bugines Macassarnes community that is represented by the Datu, the maradeka represented by the boto/lay people and ata represented by figures of Dayang. However, behaves of the Datu that is mappakalebbi to the lay People and Dayang being a sign that they always respect values of sipakatau without seing a person social stratification. Ideas of egalitarian of interpersonal level bay respecting a value of sipakatau clear enough when a Datu gives a title as a noble man for his two children (Baso and Samindara) as usual happened through the main figure of Baso and figurative figures of Dayang-Dayang. Codes of Baso and Dayang show a sign that righteousness is not merely owned by arung, but also owned by ata. In respecting the values of lempuq the figure of Dayang shows his bravery in breaking mythos or tradition and gives his soul in the name of respecting values of lempuq. While the maintenance of siriq values are reflected by the figures of Datu and Baso in the drama Samindara. The maintenance of siriq of a Datu (king) by isolating his beloved children out of the palace, while the Baso maintenance a siriq by striking the Samindara (his own brother) to the death as a feeling of mate siriq ‘loss of his self-esteem’ as his marriage proposal had been rejected. The maintenance of siriq values by inhuman actions being phenomenal ones in the community. These criminal actions even get a justification using of flag ‘in the name of siriq’. The maintenance of siriq using these action is distorted in the drama Samindara innovatively. The maintenance of siriq by ignoring the pesse values or ‘human values’ will result disasterseven it can degradea person being a joke as ‘an animal’. For the reason, an understanding to the siriq cultural values should be seen as an oppositional dialectics using pesse values.

Kata Kunci : Sastra Indonesia,Drama Samindara,Nilai Budaya Bugis,drama Samindara, semiotic, cultural values, Bugines Macassarnes


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.