Peran Provinsi Lampung dalam penanganan konflik :: Studi tentang upaya pemerintah Provinsi Lampung dalam penanganan konflik antara plasma dan inti di Bumi Dipasena Provinsi Lampung

KARNAWAN, Mat Zamta, Dr. Purwo Santoso, MA

2006 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

satunya adalah dalam konflik kemitraan antara perusahaan (inti) yaitu PT. Dipasena Citra Darmaja dan petambak (plasma) di Bumi Dipasena yang merupakan tambak udang terbesar di Asia Tenggara yang menyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang pendapatan asli daerah terbesar di Provinsi Lampung. Salah satu peran yang dapat dijalankan oleh pemerintah daerah dalam kaitan ini adalah dalam hal penanganan konflik. Oleh karena itulah, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dalam penanganan konflik antara plasma – inti. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun peran pemerintah dioperasionalkan menjadi tiga yaitu peran dalam proses konsiliasi, peran dalam proses mediasi, dan peran dalam proses arbitrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik plasma dan inti berakar dari rasa ketidakadilan dan pengabaian hak-hak plasma. Konflik kemitraan ini disebabkan oleh pelaksanaan pola kemitraan yang tidak sesuai dengan konsep dan aturan kemitraan yang telah ditetapkan, kurangnya aspek transparansi, formulasi bisnis yang ditentukan sepihak, aspek pengalihan lahan, dan aspek pemutusan hubungan kerja, serta kebijakan pemerintah yang menguntungkan perusahaan. Kurangnya upaya yang dilakukan dalam pencegahan konflik menyebabkan eskalasi. Peran yang dijalankan Pemerintah Provinsi Lampung dalam proses konsiliasi dengan mempertemukan kedua pihak yang berkonflik ternyata tidak berjalan efektif, karena walaupun jumlah pertemuan antara pihak-pihak yang bertikai relatif sering frekuensinya, namun keputusan yang diambil tidak pernah dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Peran pemerintah daerah sebagai mediator pun kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah tidak banyak memberikan alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang tidak mengikat kedua pihak. Peran pemerintah daerah melalui arbitrasi dimana pemerintah mempunyai otoritas yang dapat memaksa pihak-pihak yang terlibat konflik juga tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kurangnya rasa kepercayaan pihak-pihak yang bersengketa, terutama pada plasma. Rekomendasi yang disarankan adalah perlunya pemerintah memainkan peranan lebih besar dengan berpijak pada dokumen perjanjian kerjasama kemitraan yang telah disepakati inti dan plasma. Pemerintah perlu menerapkan sanksi tegas bagi pelanggar perjanjian kerjasama kemitraan. Selain itu konsistensi peraturan perlu dilakukan oleh pemerintah dan penguatan daya tawar plasma juga perlu ditingkatkan.

Conflicts are an inevitable thing in the life of human. One of them is the partnership conflict between company (core) i.e. PT. Dipasena Citra Darmaja and fisher (plasma) in Bumi Dipasena which is the biggest shrimp fishpond in Southeast Asia that using the most of labor and the largest part of the share in local original income of Lampung Province. One of role conducted by the local government in this case is in the conflict handling. Therefore, the problem formulation in this research is how far the role of local government of Lampung Province in handling the conflict between plasma-core. The type of this research was descriptive research. The data used were primary and secondary data using data collection technique by observation, interview, and documentation. The role of government were operationalized using three indicator, they were the role in conciliation process, the role in mediation process, and the role in arbitration process. The result of the research showed that the conflict of plasma and core was rooted in the unfair feeling and ignoring the rights of plasma. The partnership conflict were caused by the implementation of partnership pattern that was not compatible to the concept and regulation of partnership, the lack of transparency aspect, business formulation determined by one side, land conversion aspect, work firing aspect, and the government policy that tend to give advantage to company. The lack of the effort done in the conflict prevention caused a conflict escalation. The role done by the Government of Lampung Province in conciliation process by the meeting of both parties involved in conflict was not effective. Although the number of meeting between the parties in conflict was relatively high in frequency, but the decision taken was never obeyed by both parties. The role of local government as mediator also ran ineffectively as expected. The government didn’t give much alternative to solve the conflict to both parties. The role of local government in arbitration in which the government had an authority to force the parties in conflict also ran ineffectively as expected because the lack of trust in the parties in conflict, especially in plasma side. The recommendation suggested was the need of government to play more roles based on the document of partnership cooperation agreement agreed by the core and plasma. The government needs to apply the firm sanction to any parties breaking the partnership cooperation agreement. Besides, the regulation consistency was necessary done by the government and the plasma bargaining power was also increased.

Kata Kunci : Konflik,Petani Plasma dan Perusahaan,Peran Pemerintah Daerah