Laporkan Masalah

Konflik pengelolaan Pertambangan Timah di Kepulauan Bangka Belitung :: Studi tentang konflik PT. Timah Tbk dengan Pemerintah Kabupaten Bangka dan Asosiasi Industri Timah Indoensia

SAHANI, Dr. I Ketut Putra Erawan, MA

2006 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Otonomi daerah memberi kewenangan luas kepada Daerah untuk mengelola sektor pertambangan. Kehadiran Pemerintah Kabupaten Bangka sebagai pelaku usaha pertambangan timah di era otonomi daerah menurunkan derajat monopoli PT.Timah Tbk. Kondisi ini menyebabkan terjadi penurunan produksi dan nilai jual. Realitas yang dihadapi PT.Timah Tbk berhadapan dengan Pemerintah Kabupaten Bangka menimbulkan benturan kepentingan. Kesemrawutan pengelolaan pertimahan di Kabupaten Bangka khususnya, dalam konteks penelitian ini dilihat dari dua tahapan. Pertama, kontestasi PT.Timah Tbk dengan Pemerintah Kabupaten Bangka, dan kedua, kontestasi PT.Timah Tbk dengan Smelter Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI). Penelitian ini mengunakan metode deskriptif kualitatif. Unit analisis penelitian ini mengambil 3 (tiga) lokus penelitian, ya itu PT.Timah Tbk Pemerintah Kabupaten Bangka, dan Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI). Teknik pengambilan data melalui dokumentasi dan wawancara. Penelitian ini merumuskan hasil sebagai berikut. Pertama, Konflik kepentingan antara PT.Timah Tbk dengan Pemerintah Kabupaten Bangka disebabkan oleh isu tata niaga timah, isu peningkatan PAD yang membebani PT.Timah Tbk, isu tambang inkonvensional yang dilindungi oleh Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 6 Tahun 2001, isu legalitas pertambangan rakyat serta isu penggunaan alat berat yang mengancam cadangan timah milik PT.Timah Tbk. Kedua, Konflik kepentingan PT.Timah Tbk dengan kelompok Smelter milik Asosiasi Industri Timah Indonesia (AITI) disebabkan inkonsistensi implementasi kebijakan royalti, dimana PT.Timah Tbk dikenakan kewajiban membayar royalti, pelaku usaha pertambangan timah yang lain tidak dituntut demikian. Ketiga, Interaksi konflik di atas diwarnai dengan upaya masing-masing pihak mendayagunakan koneksi politik (political connection) yang dimiliki guna mempengaruhi kebijakan pengaturan pertambangan timah. Secara politis, dapat diasumsikan bahwa Pemerintah Pusat memainkan peran menjaga kepentingan pihak yang bertikai, baik kepentingan Pemerintah Pusat terhadap saham 55 % terhadap asset PT.Timah Tbk, maupun kepentingan kelangsungan usaha pertambangan rakyat di Daerah. Guna meminimalisir permasalahan di atas, menurut hemat penulis, Pertama, Pemerintah Pusat perlu mendudukkan semua pelaku usaha pertambangan timah secara setara. Kedua, menyiapkan peraturan daerah yang sensitif dengan karakteristik masyarakat dan bahan galian timah. Ketiga, mengembangkan sektor di luar pertambangan untuk mengalihkan orientasi masyarakat secara perlahan.

Local government is given wide authority mining sector in decentralization. The existence of the government of Bangka Regency (GBR) as business actor in tin mining in the era of decentralization has decreased the degree of monopoly of PT.Timah Tbk. This condition generated PT.Timah to reduce its tin production and the decreasing of tin selling price. The reality faced by PT.Timah Tbk vis a vis GBR crated conflict of interest. The chaotic tin management particulary in Bangka Regency, in the context of this research, is observeved from two phases. The first is the dispute between PT.Timah Tbk and GBR, and the second is the despute between PT.Timah Tbk with the smelter factories of Indonesia Tin Industry Association (AITI). This research is conducted in descriptive-quantitative methode. The unit of analysis in this research in conducted in three locus: PT.Timah Tbk, GBR and Indonesia’s Tin Industry Association. Data sampling techniques were employed by documenting and interviewing. The result formulation of this research are as followed. First, conflict of interest between PT.Timah Tbk and GBR is caused by Tin Trade Regulation issues; the burden of PT.Timah Tbk regarding the issue of increasing the regional income; the issue fo tin in-conventional tin mining, which is protected by local regulation (regionalact of Bangka Regency no. 6 year 2001); legal issue of mining by people; and the issue of heavy-duty equipments utilization that threat tin reserve ot PT.Timah Tbk. Second, conflict of interests between PT.Timah Tbk and Smelter factories of AITI is caused by the incossistency in implementing royalty policy in which PT.Timah Tbk obliges to pay royalty fee while others do not. Third, the interaction of the conflict above is also colored by the attempts of each party to employ it political connection to influence tin mining managemet policy. Politically, it can be assume the central governmet plays the role to watch over the interests of the parties in dispute, including central government interest to 55% share in the asset of PT.Timah Tbk and the interest of the mining-business perpetuity in local regions. To minimize the dilemmas above, in writer’s consideration, first, contral government must puts all the actors equal positio ns; second, local government sets up local regulation that is sensitive to the characteristic of the community and tin mining; and third, government must develop non-mining sector to change the local people’s earning orientation gradually.

Kata Kunci : Regulasi Pertambangan,Konflik Pengelolaan,Pemda dan PT Timah, regional autonomy, conflict, managemet, mining, tin, smelter factory.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.