Perbudakan dan perdagangan budak di kawasan Selat Malaka, 1786-1880-an
ANATONA, Promotor Prof.Dr. Bambang Purwanto, MA
2006 | Disertasi | S3 Ilmu SejarahTopik tentang sejarah perbudakan dan perdagangan budak di Indonesia belum banyak diteliti. Kaitannya dengan praktik-praktik perbudakan dan perdagangan budak lintas negara bahkan hampirhampir tidak tersentuh. Berangkat dari kondisi demikian, penelitian ini mengupas sebuah persoalan mengenai perbudakan dan perdagangan budak dari perspektif historis. Cakupan spasial penelitian ialah kawasan Selat Malaka, sedangkan cakupan temporal berkisar antara tahun 1786 hingga 1880-an. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi sejarah perbudakan dan perdagangan budak pada sebuah kawasan yang sangat dinamis yaitu Selat Malaka. Hasil penelitian dapat menjadi wacana yang memuat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budak, perbudakan, dan perdagangan budak atau yang lebih populer disebut sebagai perdagangan manusia, baik yang terjadi dalam konteks lokal maupun regional. Dari sudut akademik, hasil penelitian ini menyumbangkan sebuah karya dengan topik kajian yang relatif baru yang dapat memperkaya khasanah historiografi Indonesia dan Asia Tenggara. Sumber-sumber sejarah yang digunakan di dalam penelitian ini berasal dari dokumen yang cukup beragam. Selain dokumendokumen yang ditulis oleh orang asing terutama peninggalan Belanda dan Inggris, penelitian ini menggunakan pula sumber-sumber lokal. Semua sumber sejarah yang digunakan diperoleh melalui penelitian arsip, perpustakaan, dan penelitian lapangan. Penelitian dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Rekontruksi mengenai perbudakan dan perdagangan budak di kawasan Selat Malaka dalam kurun waktu antara tahun 1786 hingga 1880-an menghasilkan 3 hal. Pertama, antara periode tahun 1786-1820-an, praktik perbudakan dan perdagangan budak di kawasan Selat Malaka berjalan secara resmi. Pada periode tersebut, budak termasuk salah satu komoditas dagang yang diperjual-belikan secara legal. Banyak elite dan masyarakat biasa yang berasal dari berbagai suku-bangsa, baik yang tinggal di pedalaman maupun di bandar-bandar niaga pesisir pantai ikut terlibat di dalam praktik-praktik perbudakan dan bisnis jual-beli budak. Kedua, dalam kurun waktu menjelang tahun 1820 hingga tahun 1870-an muncul kesadaran untuk menentang praktik perbudakan dan perdagangan budak. Kesadaran itu ditandai dengan lahirnya peraturan-peraturan yang melarang aktivitas perbudakan dan perdagangan budak di kawasan Selat Malaka. Keberadaan peraturan tersebut membawa dampak yang tidak seragam. Di beberapa wilayah dalam kawasan Selat Malaka yang dikuasai Inggris, perdagangan budak secara legal memang terhenti. Namun sebagai gantinya muncul perdagangan budak yang dilakukan secara “gelapâ€, yaitu secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Pengiriman budak ke wilayah yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Inggris dilakukan melalui penyelundupan. Tidak demikian halnya dengan wilayah-wilayah dalam kawasan Selat Malaka yang dikuasai Belanda dan wilayah-wilayah Selat yang masih merdeka. Pada kedua wilayah tersebut, aktivitas perbudakan dan perdagangan budak masih berjalan seperti masa-masa sebelumnya meski intensitasnya cendrung menurun. Larangan terhadap perbudakan dan perdagangan budak di wilayah Selat yang dikuasai Belanda kurang ditanggapi serius dan bersungguh-sungguh. Ketiga, selama kurun waktu antara tahun 1870-an hingga 1880-an, larangan terhadap praktik perbudakan dan perdagangan budak makin diperketat. Dalam periode ini, praktik perbudakan dan perdagangan budak baik yang berlangsung secara legal maupun yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau ilegal semakin berkurang jumlahnya. Sebagian budak yang masih ada, dimerdekakan melalui kebijakan penebusan. Namun, tetap saja ada yang tersisa. Walaupun budak dan perdagangan budak sudah tidak ada, praktik perbudakan sama sekali belum dapat dihilangkan. Praktik perbudakan di kawasan Selat Malaka tetap bertahan
In Indonesia, only a few researchers studied topics about of slavery and slave trade. Furthermore, the relation between the topics and practices of slavery and slave trade amongst countries has almost never been covered. On that account, this study would unveil a problem of slavery and slave trade from historical perspective. The research’s spatial coverage is the Straits of Malacca zone, whereas its temporal coverage is between 1786 up to 1880s. The study aimed to reconstruct the history of slavery and slave trade in a very dynamic area, the Straits of Malacca. The study’s report could become a discourse covering problems related to slave, slavery, and slave trade or human trafficking, either in local or regional contexts. From the academic perspective, this study’s report was a piece of work on a relatively new topic which would contribute to the variety of historiography of Indonesia and Southeast Asia. The historical sources analyzed in this study were taken from various documents. Apart from documents written by foreigners, especially those inherited from the Dutch and British, this study also drew on local sources. All the historical sources used were gathered by employing archival, libraries, and on the field researches. This study was done in Indonesia, Malaysia, and Singapore. The reconstruction of slavery and slave trade in the Straits of Malacca zone during 1786 up to 1880s revealed three things. Firstly, during 1786 to 1820s, the practices of slavery and slave trade in the Straits of Malacca zone were legal. During the period of time, slaves were among the commodities traded legally. There were a lot of elites and common people from various ethnics, who live either in remote areas or in trade harbors in seashores involved in the practices of slavery and slave trade. Secondly, during 1820s to 1870s a new consciousness arose spurning the practices of slavery and slave trade. This new consciousness was marked by the emergence of new regulations forbidding the practices of slavery and slave trade in the Straits of Malacca zone. The existence of the regulations generated various impacts. In several areas in the Straits of Malacca zone which were controlled by British, legal slave trade was indeed ended. However, the illegal practices of slave trade were emerging instead. The slaves were smuggled to areas controlled by British. Yet the contrary happened in areas in the Straits of Malacca zone which were controlled by the Dutch and other independent areas in the zone. In those areas, the practices of slavery and slave trade were still legal though the intensity tended to decrease. The regulations forbidding the practices in areas controlled by the Dutch were not considered seriously. Thirdly, during 1870’s to 1880’s, the forbiddance on the practices as strengthened. In this period of time, the practices either legally or illegally were waning. The slaves were freed by a compensation policy, though there were still some remainders. Although slave trade were totally dismissed, the practices could not extinct. The practices of slavery in the Straits of Malacca still existed
Kata Kunci : Perbudakan dan Perdagangan Budak,Selat Malaka,1786,1880an, history, slave, slavery, slave trade, Straits of Malacca zone