Laporkan Masalah

Cemaran aflaktosin dan infeksi jamur pada komoditi kacang tanah (Arachis hypogaea L) di tingkat petani, pengumpul dan pedagang di Kabupaten Wonogiri, Klaten dan Gunung Kidul

RAHARDJO, Ag. Pamudji, Dr.Ir. Endang S. Rahayu

2006 | Tesis | S2 Ilmu dan Teknologi Pangan

Kabupaten Wonogiri dan Klaten, Jawa Tengah dan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah penghasil kacang tanah. Pada penelitian ini telah dilakukan survei tentang cemaran aflatoksin dan infeksi jamur pada kacang tanah di tiga kabupaten penghasil kacang tanah tersebut. Uji aflatoksin pada sampel dilakukan menggunakan ELISA kit, sedangkan untuk uji infeksi jamur dilakukan dengan menggunakan media selektif (AFPA, DCPA, DRBC, dan DG-18) Untuk mengetahui praktek-praktek agronomi dan pasca panen dilakukan wawancara dengan petani. Uji infeksi jamur menunjukkan bahwa semua biji yang diambil dari petani, pengumpul dan pedagang di ketiga kabupaten terinfeksi jamur bermisilia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergillus dan Penicillium. Kadar air kacang tanah berkisar 5,7 – 9,6%, selang disimpan selama 3 bulan kadar air menjadi 9 – 14,8%. Data uji infeksi jamur aflatoksin menggunakan media AFPA menunjukkan bahwa sampel dengan cemaran aflatoksin melebihi 20 ppb, rata-rata terinfeksi dengan jamu aflatoksigenik 87%. Hasil uji aflatoksin menunjukkan bahwa dari 50 sampel yang diambil dari petani, pengumpul dan pedagang, semuanya mengandung aflatoksin. Tujuh sampel dengan cemaran aflatoksin lebih dari 20 ppb, dua sampel dengan cemaran antara 10 – 20 ppb, sedang sisanya tercemar aflatoksin dibawah 10 ppb (empat puluh satu sampel). Cemaran tertinggi adalah 62,30 ppb. Sedangkan kacang tanah yang mengalami pemyimpanan selama tiga bulan, tiga sampel tercemar aflatoksin < 20 ppb, dan 47 sampel tercemar aflatoksin >20 ppb. Cemaran tertinggi adalah 112 ppb. Perlakuan sortasi biji cacat perlu dilakukan, sebab dengan pemisahan biji cacat maka bisa menekan infeksi jamur pada kacang. Aflatoksin biji cacat berkisar antara 1,7 – 63,2 ppb. Sejumlah lima belas sampel biji cacat terkontaminasi aflatoksin >20 ppb. Empat belas sampel biji cacat terkontaminasi aflatoksin antara 10-20 ppb, dan dua puluh satu sampel tercemar aflatoksin dibawah 10 ppb. Secara umum dapat disimpulkan bahwasanya praktek produksi kacang tanah di ketiga kabupaten oleh petani sudah cukup baik. Hanya saja produktivitas perlu dinaikkan dengan pemupukan yang memadai serta penggunaan varietas unggul. Disamping itu pengumpul dan pedagang perlu memperhatikan sarana penyimpanan yang ada sebab untuk Kab. Wonogiri dan Gunung Kidul dengan penyimpanan yang kurang memadai tercemar aflatoksin > 20 ppb.

Wonogiri and Klaten in Central Java, and Gunung Kidul in Special Province of Yogyakarta are peanut producers. Survey of aflatoxin contamination and infection of fungi in peanut have been done in those three areas. Aflatoxins detections were carried using ELISA kit. Selectif media of AFPA, DCPA, DRBC, and DG-18 were used to determine the contamination of fungi on peanuts. Questioners were used to get information about the practical works on-farm and off-farm. The results showed thal all peanut collected from farmers, small traders, and whole salers in those three areas were infected with fungi white and black misselia, Aspergillus and Penicillium. Water content of peanut was in the ranges of 5,7 – 9,6 %. After three months storage, the water content increased to 9 – 14,4%. Detection of aflatoxin fungi on AFPA indicated that samples with aflatoxin content more than 20 ppb, were in average contaminated with 87% aflatoxigenic fungi. All fifty samples collected from farmers, small traders, and whole salers were contaminated with aflatoxin, with the highest cocentration of 62,30 ppb. The concentrations of aflatoxin in 7 samples were more than 20 ppb. Two sample were found with 10-20 ppb aflatoxin, and 41 samples contained less than 10 ppb aflatoxin. After three months storage, only three samples contaminated less than 20 ppb aflatoxin, meanwhile 47 samples contaminated with more than 20 ppb aflatoxin. The highest aflatoxin content in the peanut after three months storage was 112 ppb. Defect peanut should be separated to reduce infection of fungi in peanut. Aflatoxin contents in defect peanuts were in the range 1,7-63,2 ppb, where 15,14 and 21 samples were contaminated with more than 20 ppb, 10-20 ppb, and less than 10 ppb aflatoxin respectively. In general, on-farm peanut production in those three areas considered to be good. Small traders and whole salers should take more attentions on the storage system and condition since aflatoxin content in peanut tend to increase during storage.

Kata Kunci : Kacang Tanah,Uji Aflatoksin dan Infeksi Jamur, Aflatoxin, farmer, small trader, whole saler


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.