Laporkan Masalah

Sinden-Penari di atas dan di luar panggung :: Kehidupan sosial budaya para sinden-penari Kliningan Jaipongan di wilayah Subang Jawa Barat

CATURWATI, Endang, Promotor Prof.Dr. R.M. Soedarsono

2005 | Disertasi | S3 Ilmu Budaya (Pengkajian Seni Pertunjukan dan Se

Jawa Barat dikenal dengan kekayaan seni pertunjukan sebagai hasil kreativitas masyarakat pendukungnya. Setiap daerah memiliki genre seni pertunjukan yang khas, yang tidak ada di daerah lain. Akan tetapi perubahan zaman yang mempengaruhi berbagai bidang kehidupan menyebabkan kemerosotan dan bahkan kemusnahan berbagai genre seni pertunjukan tersebut. Kalau tidak hilang, berbagai genre seni pertunjukan menjadi langka karena ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Namun demikian di daerah Subang, Jawa Barat, terdapat seni pertunjukan kalangenan yang terus berkembang, yaitu kliningan jaipongan. Genre ini bahkan semakin banyak jumlahnya dan mendapat dukungan kuat dari masyarakat luas di sana, hingga menjadi salah satu ciri khas bagi daerah Subang. Daya pesona kliningan jaipongan begitu kuatnya hingga dapat menyebabkan penggemarnya mabuk-kepayang, serta bersedia melakukan perjalanan untuk menghadiri pertunjukan dan bertemu dengan sindén-penari idolanya betapapun jauhnya tempat pertunjukan. Lebih daripada itu, daya tarik para sindénpenari yang berupa gerakan tari yang erotis dan sensual, serta lirik lagu yang menggoda, telah mengubah nilai dan fungsi seni pertunjukan tersebut. Sindén-penari yang dulu dikenal dengan nama ronggéng dan berfungsi sebagai penyemarak suasana hiburan, dewasa ini menjadi primadona pertunjukan dan bahkan banyak di antaranya yang menjadi manajer dari grup kliningan jaipongan itu. Kliningan jaipongan sendiri, selain masih menyertakan unsur ritual, kini berkembang menjadi seni komersial yang menyatukan berbagai fungsi, yaitu sebagai ajang bisnis, ajang adu gengsi, dan ajang komunikasi. Perubahan itu telah pula mengubah sistem kehidupan masyarakat setempat, khususnya dalam bidang ekonomi. Gejala yang mungkin hanya terjadi pada seni pertunjukan kliningan jaipongan ini merupakan hal yang menarik, unik dan bahkan mengandung kontradiksi, terutama di saat krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 hingga kini. Keunikan gejala kliningan jaipongan ini lebih mencolok kalau dipandang dari perspektif nasib berbagai jenis kesenian kalangenan Jawa Barat lainnya, seperti longsér, belentuk ngapung, ronggéng gunung, dongbrét, dogér kontrak dan ketuk tilu, yang pada umumnya mengalami kemunduran dan bahkan nyaris punah karena perubahan zaman. Di tengah keprihatinan yang dialami oleh berbagai seni pertunjukan Jawa Barat itu, justru kliningan jaipongan di daerah Subang tumbuh dan berkembang. Disertasi ini tidak semata-mata hanya mengungkap tentang kapan, mengapa dan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan kliningan jaipongan, melainkan juga tentang beberapa hal lainnya, di antaranya upaya sindén-penari yang selalu berkaitan dengan asihan atau pamelet, baik sebagai perempuan yang membutuhkan kebahagiaan lahir maupun batin, maupun sebagai ibu yang menanggung beban anak-anaknya akibat kawin cerai, dan sebagai perempuan yang selalu dipandang memiliki citra negatif yang diidentikan sebagai ronggéng, atau kembang buruan. Yang sangat penting, ialah bagaimana di masa ketika ekonomi mengalami kesulitan, dalam persaingan global, dan ketika berbagai seni pertunjukan tradisional semakin terpuruk, pesona sindén-penari melalui pertunjukan kliningan jaipongan telah memberikan kontribusi bagi masyarakat Subang. Terutama di bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sindén-penari melalui kliningan jaipongan telah menjadi faktor utama di dalam terciptanya industri seni dan telah mampu menciptakan pasar antara penjual (produser atau grup kliningan jaipongan), sponsor (penanggap) dan pengguna (bajidor, publik).

West Java is known as an area which is rich in performing arts, which are the expression of the creativity of its people. Each locality in West Java has its own specific performing art(s) which is (are) different from those from those found in other localities. Unfortunately the rapid social change caused deterioration and even extinction of many form of the performing arts formerly found in that those localities. If not lost altogether, many genres are becoming so rare that it is now difficult to watch their performances. The general public has lots its interest and no longer support the performing arts. Nevertheless, there is an exception found in Subang area, West Java. A public favorite pasttime, called the kliningan jaipongan keeps flourishing. This kind of performing art grows in numbers and gains strong public supports, so that it even becomes a kind of icon for the Subang area. The fascinating power of the kliningan jaipongan can be so strong for its fans (the bajidor), that in their intoxication they are prepared to make long journeys to watch their idols, the dancersinger, to perform their favorite singing and dancing. The strong attraction of the singer-dancer, namely the erotic and sensual movements as well as the tantalizing lyric of their songs, has even changed their function in the performing art. The dancer-singers who in former times called ronggéng and were just acting for the enhancement of the festive atmosphere, now become primadonas, and some even turned into successful managers of the groups. The kliningan jaipongan today still retains some of its former ritual elements, but in ist development into a more commercial-oriented art, it assembles many functions, namely those business related activities, and social status. This development has positive impact on people living in the area, especially in relation to the growth of local economy. The phenomenon, which is specially related to klininganjaipongan is interesting, unique and has contradictions in itself. It becames outstanding if viewed from the perspective of the economical crisis starting in 1997 up to the present time (2005). And also if it is viewed from the fact that other genres, such as the longsér, the belentuk ngapung, the ronggéng gunung, the dongbrét, the dogér kontrak and the ketuk tilu, are degeneration and even becoming extinct as the impact of the social change. In the mind of the degeneration and extinction, strangely the kliningan jaipongan grows and flourishes in Subang area. xx This dissertation has not only traced and highlighting some aspects of ‘when’ ‘how’ and ‘why’ the kliningan jaipongan grew and developed, but also has discovered a few things more. Namely that the dancer-singers still practiced the old art of magic charms called asihan or pamelét, and that as normal woman they aspire for real happiness; and that they are mothers as well as single parent who take the whole responsibility of caring for their children; and how they cope with the fact that they are considered negatively as ronggéng or even prostitute. Above all, the most important thing is the fact that during the present economic difficulties in the global competition, and when the other traditional performing arts are in serious troubles, the fascinating attraction of the dancers-singer in the kliningan jaipongan performances has contributed prosperity to the people of Subang. Not only the development of local economy, but also in the social as well as cultural fields. It is also obvious that the dancerssinger of the kliningan jaipongan have been the most important factor in the development of art-industry, and have been able to create a ‘market’ that provides strong connections among the ‘producer’ (kliningan jaipongan groups), the ‘sponsor’ (penangggap), and the ‘customers’ (the bajidor and the audience).

Kata Kunci : Seni Pertunjukan Priangan,Sinden dan Penari,Kehidupan Sosial


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.