Laporkan Masalah

Menjadi Jawa :: Orang-orang Cina dan kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998

RUSTOPO, Promotor Prof.Dr. R.M. Soedarsono

2006 | Disertasi | S3 Ilmu Budaya

Disertasi ini merupakan kajian sejarah sosial-budaya, tentang orang-orang Cina di Surakarta yang berperan penting dalam pengembangan kebudayaan Jawa dan sekaligus menjadi Jawa. Aspek temporalnya dibatasi dari 1895 hingga 1998 dengan alasan, pertama, selama periode tersebut terjadi proses transformasi sosial-budaya yang melibatkan orang-orang Cina sebagai pelaku pengembangan kebudayaan Jawa. Kedua, untuk menunjukkan realitas sejarah atau budaya sekaligus realitas sosial yang saling bertolak belakang. Tahun 1895 menandai awal sebuah proses sejarah yang menempatkan orang Cina sebagai pengembang kebudayaan Jawa yang kreatif. Sebaliknya tahun 1998 merupakan tragedi yang menempatkan orang-orang Cina menjadi korbannya. Untuk mengkaji sejarah tentang orang-orang Cina di Surakarta ini menerapkan pendekatan dan analisis historis. Penelitian ini bersifat diakronis, tetapi pada bagian-bagian tertentu diuraikan secara sinkronis. Pendekatan evolusionis juga diterapkan untuk memahami proses menjadi Jawa pada orangorang Cina di Surakarta. Teori konvergensi digunakan untuk memahami upaya-upaya mereka menjadi Jawa, sebagai hasil pertemuan (konvergensi) antara faktor pribadi dan faktor lingkungan social budaya. Proses sejarah sebagai realitas kultural dimulai dari Gan Kam yang menggubah wayang wong istana menjadi kemasan wayang orang panggung, sekaligus menggeser locus pertunjukannya dari dalam istana ke tengah masyarakat urban. Sukses Gan Kam dalam industri seni pertunjukan ini diikuti oleh pengusaha-pengusaha Cina lainnya yang membawa wayang wong panggung mencapai puncak popularitasnya antara tahun 1930-an hingga 1950-an. Popularitas wayang orang panggung ini membuat orang-orang Cina pecandu wayang orang berusaha keras untuk berlatih dan membentuk perkumpulan wayang orang yang semua pemainnya orang Cina. Dharma Budaya yang terbentuk pada 1956 dan Bagian Kesenian PMS yang terbentuk pada 1958 adalah organisasi-organisasi wayang orang yang pemainnya orang-orang Cina. Dari organisasi-organisasi inilah lahir pemain wayang orang yang handal, seperti Koo Kiong Hie, Tio Gwat Bwee, Koo Giok Lian, Tan Gwan Hien, dan masih banyak lagi. Proses sejarah dari Gan Kam hingga Koo Kiong Hie dan kawan-kawannya itu pada hakikatnya suatu proses menjadi Jawa yang berlangsung secara evolusionis. Dalam bidang lain muncul dua tokoh Cina yang kontras; yang pertama mewakili intelektual tingkat tinggi, dan yang kedua mewakili pemikir dan kreator kelas rakyat (massa). Keduanya menempuh jalannya sendiri; yang pertama melalui jalur akademik, dan yang kedua melalui tobong-tobong seni pertunjukan rakyat. Akhirnya keduanya mencapai derajat kepakaran Jawa yang tertinggi; yang pertama diangkat sebagai guru-besar dalam Bahasa dan Sastra Jawa, dan yang kedua diakui sebagai guru-besar dalam dunia seni pertunjukan lawak. Mereka adalah Tjan Tjoe Siem dan Kho Djien Tiong. Terakhir adalah tokoh mewakili keunikan yang tidak ada duanya. Ia merupakan orang Cina yang luluh dalam dunia kehidupan Jawa melalui tari, wayang, tembang, gamelan, bahasa, batik, tosan aji (keris), arsitektur, kepurbakalaan, permuseuman, adat-istiadat dan upacara keraton. Ia bukan hanya pelaku tetapi juga kreator dan pemikir (intelektual). Ia adalah Go Tik Swan , yaitu orang yang derajat kejawaannya dianggap paling matang di antara orang-orang Cina lainnya yang menjadi Jawa. Karya-karya mereka mewakili Jawa yang ‘baru’, yaitu yang lebih cemerlang dan lebih menarik daripada Jawa sebelumnya, sehingga memiliki vitalitas hidup pada zamannya. Jawa ‘baru’ yang mereka hasilkan merupakan hibrida antara unsur-unsur kebudayaan keraton, rakyat, kota, desa, tradisional, modern (Barat). Dalam realitas kultural, Jawa ‘baru’ made by Chinese ini bagaimanapun telah membuat Surakarta dan Jawa menjadi beradab. Sebaliknya dalam realitas sosial ‘Surakarta’ telah memperlakukan orang-orang Cina secara biadab. Selama mereka menciptakan Jawa ‘baru’ sekaligus berproses menjadi Jawa, di Surakarta sering tarjadi kerusuhan-kerusuhan yang ditujukan kepada orang-orang Cina. Kerusuhan-kerusuhan anti Cina di Surakarta yang berulang-ulang, yaitu pada awal abad XX hingga berakhirnya perang kemerdekaan, pada 1965, pada 1972, pada 1980, dan yang terakhir pada Mei 1998, adalah sebuah realitas sosial. Kerusuhan-kerusuhan itu seolah-olah mengekspresikan puncak kemarahan masyarakat pribumi terhadap orang-orang Cina. Selama terjadi kerusuhan-kerusuhan itu, proses menjadi Jawa tetap berjalan karena mengikuti kata hati, bukan karena tekanan dari luar.

This dissertation is a socio-cultural historical study about the ethnic Chinese in Surakarta who played an important role in the development of Javanese culture and became Javanese. The temporal aspect was limited to the period between 1895 and 1998, firstly due to the fact that during this period there was a process of socio-cultural transformation involving Chinese people as the actors in the development of Javanese culture, and secondly in order to show the historical or cultural reality and also the social reality which are contradictory to one another. The year 1895 marked the beginning of a historical process which placed the ethnic Chinese as creative developers of Javanese culture. On the contrary, 1998 was the year of a tragedy in which Chinese people were the victims. In order to study the history of the Chinese in Surakarta, a historical approach and analysis are used. This research is diachronic in nature but in certain parts a synchronic analysis is used. An evolutionistic approach is also applied in order to understand the process of becoming Javanese among the Chinese people in Surakarta. A theory of convergence is used to understand their efforts and endeavours to become Javanese as convergence between personal(ity) and social-cutural environment factors. The historical process as a cultural reality began with Gan Kam who transformed wayang wong from the palace into the form of wayang orang for the stage, while at the same time shifting its performance locus from inside the court to the midst of the urban community. Gan Kam’s success in the performing art industry was followed by other Chinese businessmen who brought wayang wong for the stage to the peak of its popularity between the 1930s and 1950s. The popularity of this wayang ora ng stage show caused Chinese lovers of wayang orang to work hard rehearsing and forming wayang orang groups in which all the performers were Chinese. Dharma Budaya, which was formed in 1956, and the Art Section of PMS, formed in 1958, were wayang orang organizations with Chinese performers. From these organizations, skilled wayang orang performers were born, including Koo Kiong Hie, Tio Gwat Bwee, Koo Giok Lian, Tan Gwan Hien, and many more. The historical process from Gan Kam to Koo Kiong Hie and his colleagues was in truth an evolutionistic process of becoming Javanese. In other sectors, two contrasting Chinese figures emerged: the first represented a high intellectual level and the second represented a thinker and creator of the masses. Each followed his own path: the first travelled an academic path while the second passed through the tobong (temporary concert venues) of performing folk art troupes. Ultimately, both reached the highest degree of Javanese expertise: the first was appointed a professor of Javanese Language and Literature and the second was acknowledged as a professor in the field of comic performing arts. These two characters are Tjan Tjoe Siem and Kho Djien Tiong. Finally, there is a figure with a unique character of which there is only one of a kind. He is a Chinese man who has assimilated into the world of Javanese life through dance, puppet theatre, song, gamelan, language, batik, tosan aji (Javanese daggers or keris), architecture, archaeology, museums, customs, and keraton or court ceremonies. He is not only a practitioner but also a creator and intellectual. This man is Go Tik Swan, whose degree of Javanese-ness can be considered the highest or most mature of all other Chinese people who have become Javanese. Their works represent a “new” kind of Javanese, brighter and more attractive than the former Javanese, with vitality for life in their era. The “new” kind of Javanese they produced is a hybrid with elements of keraton, folk, urban, rural, traditional, and modern (Western) cultures. In cultural reality, this “new” Javanese, made by Chinese, has in any case made Surakarta and Java more civilized. On the contrary, in social reality, “Surakarta” has treated the Chinese people in an uncivilized way. While they created a “new” Javanese in the process to become Javanese, there have been frequent riots in Surakarta directed towards the Chinese. These repeated anti-Chinese riots in Surakarta, at the beginning of the 20th century until the end of the war for independence, in 1965, in 1972, in 1980, and most recently in May 1998, are a social reality. These riots would seem to express a culmination of the indigenous community’s anger towards the Chinese. While the riots have continued to take place, the process of becoming Javanese continues, as it is a call from the heart, not due to external pressure

Kata Kunci : Masyarakat China 1895,1998,Kebudayaan Jawa


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.