Evaluasi perolehan rente ekonomi pengusahaan hasil hutan kayu bulat di Indonesia
HANDADHARI, Transtoto, Promotor Prof.Dr.Ir. Achmad Sumitro, M.Sc
2005 | Disertasi | S3 Ilmu Pertanian (Ilmu Kehutanan)Degradasi hutan tropis Indonesia berakibat menurunnya produksi kayu bulat yang berpotensi menurunkan pendapatan negara dari pungutan-pungutan yang telah ditetapkan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran besarnya perolehan pungutan rente ekonomi hasil hutan kayu bulat dari berbagai sumber pengusahaan, sebagai bahan pertimbangan penetapan kebijakan sistem pungutan yang mampu memberikan perolehan dan pemanfaatan rente ekonomi yang optimum bagi pemerintah pusat-daerah. Penelitian dilakukan pada seluruh sampel sistem pengusahaan hutan kayu bulat atas penerimaan pungutan-pungutan pengusahaan hutan (forest charges), utamanya Iuran Hasil Hutan (IHH) yang kini disebut sebagai Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya disebut Dana Jaminan Reboisasi (DJR) maupun pungutan-pungutan lainnya, dikaitkan dengan keuntungan normal pengusahaan kayu bulat tersebut. Perolehan pungutan-pungutan pemerintah dari sebagian rente ekonomi hutan (forest economic rent) tersebut masih dianggap rendah dibandingkan potensi nilai tegakan (stumpage value) yang ditebang, dan memerlukan penyempurnaan kebijaksanaan yang tepat agar diperoleh jumlah rente ekonomi yang optimal. Dalam penetapan kebijakan sistem pungutan kayu bulat tersebut dipertimbangkan pula hubungannya dengan kebijakan otonomi daerah khususnya yang menyangkut penetapan pungutan daerah atas produk kayu bulat berkaitan dengan perwujudan pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah perolehan pungutan pemerintah dari pengusahaan kayu bulat dari berbagai sumber yang dapat diketahui jumlahnya secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan potensinya, kecuali untuk pengusahaan kayu bulat sistem HPH daerah pegunungan tahun 2000, menyebabkan diperolehnya windfall profit bagi pengusaha kayu bulat yang cukup besar yang selayaknya dipungut pemerintah. Terdapat potensi rente ekonomi yang relatif besar yang hilang pada hampir seluruh sistem pengusahaan kayu bulat, termasuk pada sistem HPHTI yang diteliti pada tahun 2002, antara lain sampai sebesar Rp 162,12 ribu (48,50%) per meter kubik pada HPH daerah hutan rawa tahun 2001, sebesar sampai dengan Rp 289,98 ribu (62,18%) per meter kubik pada pengusahaan kayu bulat IPK 2001; sampai dengan Rp 214.936,- (60,56%) per meter kubik pada pengusahaan sistem IPHHK tahun 2001, dan sampai sebesar Rp 27.069,39,- (82,83%) per meter kubik dari pengusahaan hutan tanaman HPHTI jenis tanaman Acasia mangium tahun 2002. Dari pengusahaan kayu bulat melalui cara lelang kayu eks illegal logging tahun 2001 pemerintah telah kehilangan potensi perolehan pungutan sampai sebesar Rp 197.359,- (54,94%) per meter kubik. Berdasarkan hal tersebut perlu penetapan sistem pungutan rente ekonomi yang lebih dapat diandalkan untuk dapat menangkap rente ekonomi secara optimal, progresif dan rasional dari seluruh sumber pengusahaan kayu bulat, dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan fungsi manfaat lingkungan dan sosial lainnya. Kebijakan sistem pungutan hasil hutan kayu bulat, termasuk distribusi hasil pungutannya, perlu dikoordinasikan dengan berbagai pihak khususnya pemerintah daerah, mengingat otonomi daerah telah menjadi keputusan politik yang harus didukung pelaksanaannya, dengan tetap berlandaskan pada komitmen menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan ekosistem lingkungan.
The decreasing log supply from Indonesian rain forest has a potential to decrease government’s income from existing retributions. This research was conducted to obtain the real fact on government’s income from forest economic rent based on the practice of charging fees to different sources of legal logs, and to obtain the consideration in creating regulation of log charges that yield the most income from economic rent for central and local government. The research concentrated on the contribution from timber’s harvest as forest charges, especially forest product royalty (IHH) now called forest resource provision (PSDH) and reforestation fund (DR) or other charges, related by the concessionaires normal profit. The government’s income from forest economic rent still deemed to be lower than the stumpage value of cut trees, and improved regulation is needed to got an optimal income from economic rent. In setting the regulation on economic rent system for timber, the relation of it and the local jurisdiction regulation need to be considered especially on local retribution on timber stated in Act number 22 of 1999 ruling Local Government and Government Regulation number 25 of 2000 regarding Central and Local Government’s Rights. The analytical test result indicated that the total amount of charges collected by the government from timber companies is still lower than its potential, except for timber companies HPH/IUPHHK-HA type in mountain area in 2000, causing huge windfall profit which should be obtained by the government instead of the timber companies. There is a loss in economic rent in all systems of timber utilization, including HPHTI/IUPHHK-HT researched in 2002, as big as Rp 162.12 (48,50%) thousands per cubic meter of logs in HPH at swamps area in 2001, Rp 289.98 thousands (62,18%) per cubic meter of logs for timber companies in 2001, Rp 214.936,- (60,56%) per cubic meter of logs for IPHHK system in 2001, Rp 27.069,39,- (82,83%) per cubic meter of logs for HPHTI system in 2002, and Rp 197.359,- (54,94%) per cubic meter of logs for illegal log auction system in 2001. There should be a developed economic rent system that will guarantee optimum income, progressive and rational from all timber companies without ignoring to conserve forest natural resources, and other environment and social usage functions. The policy of timber economic rent system, inculding rent distribution, should be correctly coordinated with all components especially local government, because regional autonomy has been a political decision, so that the execution must be based on a committment to preserve forest resources and its ecosystem.
Kata Kunci : Kayu Bulat,Ekonomi Kehutanan,Pungutan Hasil Hutan,Pemerintah Indonesia