Tiga pilar kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta masa pasca kemerdekaan periode 1950-1970an
WARIDI, Promotor Prof.Dr. R.M. Soedarsono
2005 | Disertasi | S3 Ilmu BudayaPada hakikatnya disertasi ini mengkaji kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta pada masa pascakemerdekaan dengan dibatasi aspek temporalnya, yakni pada periode 1950-1970-an. Penetapan periode ini didasarkan atas kenyataan, bahwa pada masa itu kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta di luar istana mengalami perkembangan yang pesat dan muncul dalam wujud warna garap musikalitas yang beragam. Perjalanan kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta tidak hidup dalam kevakuman, melainkan selalu berdialog dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Oleh karena itu disertasi ini menjelaskan pula sejumlah aspek sosialbudaya masyarakat Jawa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) berikut kehidupan karawitan Jawa yang terdapat di dalamnya. Pada masa ini ruang aktivitas karawitan istana dibuka semakin lebar dan estetika karawitan istana mulai mengalir ke luar istana lewat sejumlah saluran. Begitu pula estetika karawitan Jawa yang berkembang di luar istana mulai bersentuhan secara intens dengan estetika karawitan istana. Ribuan repertoar gending klasik telah diwariskan dari masa-masa sebelumnya. Warisan itu pada masa pemerintahan Paku Buwana X diolah dan dikembangkan lewat sejumlah aktivitas karawitan di pusat-pusat kegiatan karawitan Jawa gaya Surakarta. Hasilnya muncul sejumlah pengembangan garap gending, ciptaan gending, dan pengembangan pola permainan instrumen. Pada masa pascakemerdekaan karawitan Jawa gaya Surakarta tidak hanya dipahami sebagai karawitan istana saja, akan tetapi dimaknai secara lebih luas. Kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta pada masa 1950-1970-an diwarnai oleh tiga tokoh penting yang memiliki kemampuan tinggi, kreatif, dan berwawasan luas dalam bidang karawitan dan kebudayaan Jawa. Mereka adalah Ki Martopengrawit, Ki Tjokrowasito, dan Ki Nartosabda. Mereka bertiga dengan peran, cara, dan kedudukannya masing-masing mampu memerankan diri mereka sebagai pilar penyangga keberlanjutan kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta. Dengan cara yang berbeda mereka mengambil peran sesuai dengan kedudukan mereka. Martopengrawit lebih berorietasi untuk memerankan dirinya sebagai pilar keberlanjutan kehidupan karawitan istana beserta menggagas tumbuhnya konsep dan teori karawitan Jawa. Ki Tjokrowasito menyangga kehidupan karawitan istana dan bertindak sebagai pelopor pembaruan karawitan Jawa. Ki Nartosabda lebih berorientasi membumikan gending-gending klasik kepada masyarakat luas dan secara produktif memperkaya repertoar gending-gending Jawa gaya Surakarta dengan warna dan jenis yang beragam. Mereka bertiga menjadi kiblat dan sumber garap karawitan Jawa gaya Surakarta yang hidup pada masa itu. Mereka bertiga telah terbukti mampu bertindak sebagai pilar dan meletakkan fondasi yang kuat demi keberlanjutan kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta, baik dalam tataran praktik, teoretik, maupun kreativitas. Atas kepeloporan ketiga tokoh itu karawitan Jawa gaya Surakarta pada masa pascakemerdekaan (1950-1970-an) hidup dan tumbuh berkembang dalam warna dan jenis yang beragam. Gagasan teoretik tentang karawitan Jawa terus bergulir dan muncul secara menggembirakan dalam dunia akademik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa hasil jerih payah mereka bertiga telah mampu menembus ruang dan waktu yang gemanya masih tetap nyaring hingga sekarang. Dalam rangka untuk mengungkap dan mengkaji berbagai fenomena kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta digunakan payung etnomusikologi yang dalam penerapannya diperlukan berbagai teori dan konsep disipilin sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan konsep lainnya yang relevan. Dengan demikian, bahwa penelitian ini tidak sekedar mengamati karawitan Jawa gaya Surakarta sebagai teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis dari sisi konteksnya. Ini be rarti penelitian yang dilakukan merupakan perpaduan antara penelitian tekstual dan kontekstual. Masih banyak lapis-lapis karawitan Jawa yang belum mendapat perhatian secara khusus dalam penelitian ini di antaranya kehadiran dan peranan karawitan Jawa gaya Surakarta dalam pertunjukan-pertunjukan jenis seni lainnya. Sastra yang biasa dimanfaatkan sebagai syair-syair gending Jawa juga belum mendapat perhatian secara khusus dalam penelitian ini. Tentunya ini merupakan peluang yang cukup terbuka bagi peneliti lain yang berminat untuk menekuninya.
This dissertation is essentially a study about the life of Surakarta-style Javanese karawitan during the post-independence era, with its temporal aspect limited to the period between the 1950s and 1970s. This period was chosen based on the fact that during this time, the life of Surakarta-style Javanese karawitan outside the court experienced rapid developments in the form of a wide variety of musical colour and interpretation. The journey of Surakarta-style Javanese karawitan does not exist inside a vacuum but undergoes a continual dialogue with various other aspects of the life of its supporting community. Hence, this dissertation also explains a number of social and cultural aspects of Javanese society prior to Indonesian independence, in partic ular during the reign of Paku Buwana X (1893-1939), along with their connection with the life of Javanese karawitan. During this period, the room for activities of court karawitan became more widely open and the aestheticts of karawitan from the court bega n to spread outside the court through a number of different channels. Likewise, the aestheticts of Javanese karawitan which developed outside the court came into more intense contact with the aestheticts of court karawitan A repertoire of thousands of classical gendhing had been passed down from previous generations, and during the reign of Paku Buwana X, these gendhing were processed and developed throught various karawitan activities. This resulted in the appearance of a number of different developments in the musical interpretation of a gendhing, composition, of a gendhing, and the playing patterns of instruments. During the post-independence era, Surakarta-style Javanese karawitan was not only perceived as karawitan from the court but took on a much broader meaning. The life of Surakarta-style Javanese karawitan from the 1950s to the 1970s was coloured by three important figures with a high level of ability and creativity, and broad insight. These figures were Ki Martopengrawit, Ki Tjokrowasito, and Ki Nartosabda. These three figures, in their own way and role, were able to themselves as pillars to support the continued existence Surakarta-style Javanese karawitan. In their own way, they took on a role to suite their position. Martopengrawit was orientated more towards becoming a pillar to support the continued existence of karawitan from the court as well as initiating the growth of new concepts and theories on Javanese karawitan. Ki Tjokrowasito supported the life of court karawitan and pioneered various innovations in Javanese karawitan. Ki Nartosabda was orientated more towards making classical gendhing to much broader community and was also productive in enriching the repertoire of Surakarta -style Javanese gendhing with a variety of new colours and styles. These three figures became the point of orientation and the source of musical interpretations in Surakarta-style Javanese karawitan at the time. There is which provided strong to support the continued existence of Surakartastyle Javanese karawitan, in practical and theoretical terms, and also in terms their creativity. Due to the pioneering efforts of these three figures, Surakarta-style Javanese karawitan during the postindependence era (1950s-1970s) survived and developed with a diversity of colours and styles. Theoretic ideas about Javanese karawitan continue to be put forward among academicians. It cannot be denied that the results of the hard work of these three figures have succeeded in passing through space and time and their effects are still strongly felt today. In an endeavour to discover and study the various phenomena in the life of Surakarta-style Javanese karawitan, an ethnomusicological approach was used, which in application required a number of theories and concept from history, sociology, economy, anthropology, a long with other relevant concepts. Therefore, this research is not only an observation of Surakarta -style Javanese karawitan as a text, but also observes and analyses it in terms of it context. Hence, this research is a combination of a textual and contextual study. There are still many aspects or layers of Javanese karawitan which have not yet been given special attention in this research, including the existence and role of Surakartastyle Javanese karawitan in other art forms. This provides an opportunity for other scholars who are interested in studying this subject in more depth.
Kata Kunci : Kebudayaan Jawa,Karawitan Gaya Surakarta,1950,1970