Changing of Spatial Segregation Due to Social Crisis in the City of Ambon, Maluku Province, Indonesia
AZUZ, Fidaan Husein, Ir. Bakti Setiawan, MA.,Ph.D
2005 | Tesis | Magister Perencanaan Kota dan DaerahSegregasi spasial adalah suatu fenomena sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat perkotaan. Masyarakat umumnya memiliki kecenderungan untuk hidup berdekatan dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan mereka. Kesamaan itu dapat berupa kesamaan bahasa, kesamaan suku, agama, kelas sosial dan lain sebagainya. Segregasi adalah hal yang normal. Dalam masyarakat yang tersegregasi, persaingan antara dua atau lebih kelompok dalam akses kepada sumberdaya maupun akses terhadap kekuasaan dapat mengakibatkan persaingan, yang tidak jarang berakhir pada kerusuhan berdarah. Penelitian ini adalah penelitian induktif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan maksud melihat sejauh mana perubahan segregasi spasial terbentuk akibat kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi pada tahun 1999, dan juga melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi masyarakat yang tersegregasi secara spasial. Ambon adalah salah satu kota yang mengalami segregasi spasial berdasarkan agama sejak beberapa abad yang lalu. Dua golongan besar agama yang tersegregasi adalah agama Islam dan Kristen. Sejak abad ke 13, telah nampak kecenderungan bahwa masyrakat dalam satu desa hanya menganut satu agama. Walaupun demikian, masih dapat ditemukan golongan agama lain dalam jumlah yang sedikit. Banyaknya migrasi ke kota Ambon dari pulau-pulau lain di sekitar pulau Ambon, Sulawesi, Sumatera dan Jawa berdampak pada makin terintegrasinya masyarakat kota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks segregasi sebelum kerusuhan mencapai 45,80 dan kerusuhan yang terjadi pada tahun 1999 berdampak pada makin terpisahnya kedua kelompok tersebut yang diperlihatkan dengan naiknya indeks segregasi menjadi 84,32 yang diakibatkan karena banyaknya desa-desa kecil golongan minoritas yang kosong ditinggalkan oleh penghuninya. Hal ini menyebabkan terbentuknya segregasi spasial yang kaku, diperlihatkan dengan banyak desa-desa yang memiliki golongan agama mayoritas mencapai lOO%. Di dalam pusat kota Ambon saat ini terdapat garis demarkasi abstrak yang memisahkan golongan Islam dan Kristen. Pada saat kerusuhan kedua golongan agama ini sangat sulit melewati garis demarkasi abstrak dan hanya dapat berhubungan pada titik-titik tertentu di sepanjang garis demarkasi tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menolak untuk tinggal berdampingan dengan tetangga mereka yang berlainan agama dengan alasan keamanan dan kehilangan kepercayaan. Walaupun demikian mereka masih memiliki hubungan yang baik di tempat-tempat umum seperti sekolah, tempat kerja, rumah sakit, kantor, dan pasar. Ini menunjukkan bahwa usaha untuk mengembalikan masyarakat ke tempat tinggal mereka semula harus didahului oleh usaha membangun rasa saling percaya dan pemerintah daerah dapat menggunakan fasilitas-fasilitas umum sebagai sarana dalam usaha meng- integrasikan kedua golongan masyarakat ini.
This research was done in the city of Ambon, Maluku province, Indonesia, in 2005. It is aimed at looking at the changing of spatial segregation before and after the 1999 riot, and to finding out people’s perceptions of rigid spatial segregation which existed after the riot. This is an inductive research using a descriptive approach. Data was gained directly from the field and supported by secondary data to find out the changing of composition by religion. Data was divided into two years, 1998 representing conditions before the riot and 2004 representing conditions after the riot. The indexes of dissimilarity were then measured to find out the change in the degree of segregation. Furthermore, people’s perceptions of segregation were measured by simple descriptive statistics. Ambon has a unique case of segregation because segregation based on religion has existed for hundreds years. One may find in the Maluku province, especially on the island of Ambon, people in a village only practice one religion. The relationship between one village and another which had a different religion has not been peaceful since the Portuguese and Dutch colonization era. Since the 1945 independence of Indonesia, city centre has become mixed due to flow of immigrants from other parts of Indonesia. After the blood bath riot in 1999, spatial segregation changed enormously. This was shown by the increasing number of the index of dissimilarity. The index for the municipality that comprised of three sub districts after the riot almost doubled from 45.80 to 84.32. One may find many cases of the lost village, a village which had an enclave in another community -which practice different religion- before riot, and was empty after the riot (situation in 2005). Nowadays, in the centre of the city there is an abstract demarcation which separates the two communities, although the conditions are getting better. This research shows that there is a sense of refusal to live together because of loss of trust. After the 1999 riot, many people who had previously been living side by side with the other religion sold or left or exchanged their property and moved to a safe place. They clarified a safe place as being “the place where we are the majorityâ€. It was found that even though most of the people agree on living separately, they still have share in public facilities. Many respondents refused to separate public facilities for each community, but at the same time they also refused living side by side. This research indicates that it is not wise to force people to go back to their previous land before the government brings the feeling of trust to each community. It is also wise for the government assistance in building trust to start from grass roots level. Reconciliation without involving people who had bad and sad experiences is nothing. Feelings of trauma should be remedied. This research shows that the process of reconciliation can be started through public facilities.
Kata Kunci : Segregasi Spasial,Kerusuhan SARA, segregation, spatial, religion, perception