Kebijakan Land Reform :: Redistribusi tanah absentee di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
NUGROHOWATI, Lies Ratriana, Prof.Dr. Agus Dwiyanto
2006 | Tesis | Magister Administrasi PublikPenelitian ini difokuskan pada pelaksanaan kebijakan land reform (redistribusi tanah absentee) di Kabupaten Bantul. Absenteeisme di Kabupaten Bantul adalah akibat pemiliknya menjadi Romusha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan land reform di Kabupaten Bantul, mengidentifikasikan model-model pelaksanaannya, serta mengidentifikasikan aspekaspek yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan land reform di Kabupaten Bantul. Kebijakan land reform (redistribusi tanah absentee) dilakukan untuk memecahkan persoalan ketimpangan penguasaan tanah sekaligus mengatasi absenteeisme. Untuk menganalisis keberhasilan/kegagalan dalam pelaksanaan land reform dilakukan dengan berpedoman pada 13 (tiga belas) garis pedoman umum yang diterapkan oleh Sein Lin dalam penelitiannya di 12 negara. Dalam penelitian ini, maka garis pedoman itu diringkas menjadi 3 dan ditambah pembahasan mengenai struktur agraria. Jadi, variabel yang dianalisis meliputi : aspek konstitusional land reform, proses administratif dan organisasi pelaksana land reform, kemauan politik (political will) pemerintah, dan struktur agraria. Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan critical theory. Data dianalisis berdasarkan pada analisis kualitatif dan dilakukan secara induktif. Penelitian ini menghasilkan tiga temuan. Pertama, di satu sisi, kebijakan land reform diklaim pemerintah menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan absenteeisme akibat Romusha. Padahal peralihan hak milik atas tanah tersebut bisa melalui pewarisan. Dengan demikian ada upaya perburuan rente dari pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan land reform. Kedua, tidak ada perubahan yang berarti pada struktur penguasaan tanah di Kabupaten Bantul akibat pelaksanaan kebijakan land reform, sebab yang terjadi hanyalah penguatan kepemilikan tanah secara de jure bagi petani penggarap tanah absentee yang sebelumnya memang sudah menguasainya secara de facto secara turun temurun. Ketiga, pelaksanaan kebijakan land reform di Kabupaten Bantul dianggap gagal terutama karena komitmen organisasi pelaksana land reform kurang, sehingga pelaksanaannya belum tuntas. Hal ini ditandai dengan : masih terdapat pembayaran ganti rugi yang belum lunas, sehingga tanahnya belum dapat disertipikatkan. Selain itu, bagi yang sudah lunas, ada yang belum mensertipikatkan tanahnya karena sosialisasi dari aparat pemerintah kurang. Oleh karena itu, maka hendaknya Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul dan Pemerintah Daerahnya harus mempunyai komitmen yang kuat dan melakukan koordinasi secara intensif untuk menuntaskan pelaksanaan land reform. Keterbatasan dana dapat diatasi dengan sharing antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Organisasi pelaksana harus didukung oleh sumber daya manusia yang terlatih dan potensial. Selain itu, perlu didukung pula dengan administrasi land reform yang tertib serta peraturan perundangan yang fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi suatu daerah.
This research is focused on execution of land reform policy (redistribution of absentee land) in Bantul Regency. Abseenteism in Bantul regency is caused the owner of land become to Romusha. The purpose of this research is to describe execution of land reform policy in Bantul Regency, to identification the type of that execution, and to identification aspects that influence success or failure of the execution that policy. Land reform (redistribution of absentee land) policy to be execution for overcome problem of land tenure imbalance, all at once absenteeism. For analyze of success or failure that execution is based on 13 general guidelines that aplicated by Sein Lin in his research on 12 countries. In this research it is succicted in 3 general guidelines and to be added with examination about agrarian structure. Therefore, analysis variable involve constitutional aspect of land reform, administrative process and organization that carry out land reform policy, political will of government and agrarian structure. Method that use in this research analysis descriptive with critical theory approach. Analysis data based on qualitative analitycal and executed in accordance with inductive. The results of this research are : first, in one side, the govermnent claimed that land reform policy became to the only one instrument to solve the absenteeism problem that caused Romusha.Whereas, government can use inheritance process for transfering of the rights of land. Therefore, there is rent-seeking by government in execution land reform policy. Second, there is not significant change on land tenure structure, because the only happen is strengthen the ownership of land according to be de jure became to be de facto ownership that controlled before according to passed on from other generation to the other. Third, the execution of land reform policy was asserted failure, particularly because of organization that carry out land reform policy lack of commitment, until the execution has not finished yet. That was indicated by payment of compensation has not paid yet, until the land can not be certificated. Meanwhile, for the peasant who was paid , there was land that has not certificated yet, because lack of socialization from government official. Therefore, it will be desirable that Land Office of Bantul Regency and the local government should have strong commitment and make intensive coordination to treat exhaustively of land reform execution. The lack of financial can overcome by sharing between central government and local government. The organization that carry out land reform should be support by skilled and potential human resources. Meanwhile, it should be support by correct of land reform administration and flexible law according to situation and condition in a region.
Kata Kunci : Tanah Absentee,Kabupaten Bantul,Kebijakan Land Reform,Kabupaten Bantul