Pengelolaan Tanah-tanah Sultan (SG) di Yogyakarta demi tercapainya kepastian hukum :: Studi kasus di Kabupaten Sleman
SOSIAWAN, Rasyid Ratnadi, Prof.Dr. Warsito Utomo
2006 | Tesis | Magister Administrasi PublikSeiring Otonomi Daerah 1999, kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan meningkat. Pertanahan di Kabupaten Sleman merupakan bagian sejarah Yogyakarta sebagai warisan Kraton Ngayogyokarto yang masih eksis dan diakui keberadaannya. Namun pengaturan pertanahan di DIY belum tuntas, begitu juga kedudukan atau posisi Kraton Yogya terhadap Pemerintah atau Pemda. Hal ini menimbulkan banyak permasalahan di lapangan yang dipicu oleh ketidakjelasan aturan yang ada atau kurang adanya kerjasama. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan suatu bentuk pengelolaan tanah SG ditinjau dari sudut pandang stakeholders, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kenyataan riil di masyarakat. Diberlakukannya UUPA di Yogyakarta menjadikan aturan pengelolaan tanah (termasuk SG) tidak berlakui. Kenyataannya aturan lama tetap berlaku, perubahan tanah swapraja menjadi tanah Negara tidak terjadi, karena kenyataan riil di lapangan tanah SG masih diakui sebagai “siti kagungan ndalem†oleh masyarakat. Sehingga Kraton masih bertindak sebagai pemilik tanah dan memberikan hak magersari (pinjam pakai tanah SG) kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan dampak hukum bagi Kasultanan maupun pemegang hak magersari. Sebagai bagian dari Pemerintah Republik Indonesia, sudah tentu aturan pertanahan harus mengikuti aturan hukum formil yang ditetapkan Pemerintah (UUPA) berikut aturan pelaksanaannya baik yang menyangkut tanah ulayat, tanah Negara, tanah swapraja atau tanah-tanah lainnya. Kenyataan di lapangan terhadap tanah SG terdapat perbedaan dalam penerapan hukumnya. Tanah SG masih diakui keberadaannya oleh stakeholder ataupun oleh masyarakat karena berbagai aspek historis, sosiologis maupun yuridis dari Yogyakarta itu sendiri. Dari penelitian didapat bahwa sebenarnya berbagai kendala yang muncul disebabkan masing-masing pihak (stakeholder) berjalan sendirisendiri dalam menafsirkan ketentuan atau hukum yang berlaku sesuai dengan kepentingannya. Hal ini akan menyulitkan dalam mengambil suatu kebijakan pengelolaan tanah SG yang ada. Padahal bila dikaji, sebenarnya ada suatu titik temu dalam penyelesaian tanah SG yang memuaskan semua stakeholder yang ada. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah perlunya dibuat kesepakatan pengelolaan bersama tanah SG dengan jalan pembagian peran seluruh stakeholder, sesuai dengan kaidah hukum berlaku dalam rangka memberikan suatu hak pengelolaan di atas tanah SG, dengan memadukan aturan hukum formil yang berlaku (UUPA dan aturan pelaksanaannya) dengan masyarakat hukum adat Yogyakarta yang masih mengakui eksistensi tanah SG dan menghormati lembaga Kasultanan. Dengan peran seluruh stakeholder, maka kepastian hukum tanah SG dan pemakai/pengguna tanah SG mencapai sasaran sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
Along with 1999 Local autonomy, authority of regency/municipality government in land matter increased. Land matter in Sleman regency is part of Yogyakarta history as heritage of Yogyakarta Sultanate that still exists and is acknowledged. However, arrangement of land in DIY as well as position of Yogyakarta Sultanate over government is not clear. It induced many problems in field, triggered by unclear prevail regulation or lack of coordination. The objective off this research was to provide a form of arrangement of SG land from stakeholder, prevail regulations and real fact on community points of view. Being effective of UUPA in Yogyakarta made regulation of land arrangement (including SG) was not valid. In fact the last is still prevail; change in status of swapraja land to be state land did not occurred, because in reality people still acknowledge that SG lands still belong to Sultan. So, the Sultanate still as land owner and give magersari right (rentuse right of SG land) to people. It creates legal impact for the Sultanate of owner of the magersari right. As part of Republic of Indonesia, its land regulation should follow the established formal legal regulation (UUPA) and its executing regulation either related to ulayat land, state land, swapraja land or other land. In fact, over the SG land there is difference in legal implementation. SG land is still acknowledged its existence by stakeholder or by people because historical, sociological, or juridical aspect of Yogyakarta. The research indicated that actually some constrains are caused due to each stakeholders have each interpretation of legal provision according their own interest. It makes difficulty on taking a policy of arrangement of SG land although there is sameness in dealing with SG land that satisfying all stakeholders. The conclusion of this research is that it should be agreement of join management of SG land by dividing role of all stakeholders according to prevail legal arrangement in order to provide right of use on SG land, by integrating prevail formal regulation (UUPA and its applying regulation) and Yogyakarta people that still acknowledge existence of SG land and respect Sultanate institution. With role of all stakeholders, then legal certainty of SG land and user of SG land reach objectives according to prevail regulation.
Kata Kunci : Sultan Ground,Tanah,tanah Sultan,Kepastian Hukum, Soil, Legal Certainty