Laporkan Masalah

Implementasi PP No.45 Tahun 1990 Jo. PP No.10 Tahun 1983 tentang perkawinan Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Kutai Kartanegara

OKTAVIYANTI, Ika, Dr. Anna Marie Wattie

2006 | Tesis | S2 Magister Studi Kebijakan

PP No. 45 tahun 1990 Jo. PP No. 10 tahun 1983 adalah peraturan yang mengatur masalah pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan ini walaupun sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun, tapi dalam pelaksanaan di lapangan masih mempunyai banyak kelemahan, ini menyangkut efektif tidaknya pelaksanaan PP tersebut di lapangan. Kondisi ini ditandai dengan masih adanya PNS di Kabupaten Kutai Kartanegara yang melakukan praktik poligami, yaitu dengan melakukan pernikahan dibawah tangan, ataupun hidup bersama di luar nikah yang akibatnya sangat merugikan perempuan. Hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana implementasi PP No. 45 tahun 1990 Jo. PP No. 10 tahun 1983 diterapkan di kalangan PNS di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kedua, bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan. Ketiga, apa hambatan dan dukungan bagi pelaksanaan PP 10. Poligami sendiri adalah merupakan bentuk dari hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dengan adanya PP ini, maka hegemoni laki-laki dibatasi oleh negara. Negara dalam hal ini bukannya mencampuri urusan privat warganya, dalam hal ini PNS, tapi ini adalah merupakan bentuk perlindungan terhadap pihak yang lemah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan dua metode. Pertama, dokumentasi PP No. 45 tahun 1990 Jo. PP No. 10 tahun 1983 yang menyangkut masalah izin perkawinan bagi PNS, serta beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya sebagai referensi. Kedua, melakukan Indept interview terhadap beberapa informan kunci yaitu, pejabat pengambil keputusan, pelaku pelanggaran, serta PNS bukan pelaku pelanggaran untuk mengetahui opini mereka tentang PP 10. Hasil penelitian ini menemukan bahwa implementasi PP 10 belum dilakukan secara efektif, terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti yang disebabkan oleh sikap dari pelaksana kebijakan yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan adalah hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah, nikah siri, serta PNS perempuan yang menjadi istri kedua. Pelanggaran terhadap PP 10 ini menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan tidak tegas dapat dikompromikan, kadang juga diskriminatif, tergantung kedekatan antara pelaku pelanggaran dengan pejabat yang berwenang, yang merupakan salah satu hambatan dalam implementasi PP. Selain hambatan, juga ada dukungan seperti sanksi sosial yang terkadang lebih berat dari pada sanksi institusi. Hambatan lain adalah kurangnya sosialisasi, serta masyarakat dan negara menganggap bahwa poligami bukanlah suatu masalah, bahkan bagi perempuan yang tersubordinasi. Kemudian ada juga dukungan dalam implementasi PP 10, seperti adanya perempuan sebagai pelaksana kebijakan dan mempunyai sensitifitas gender. Karena tujuan dari PP 10 yang ingin memberi perlindungan pada perempuan belum tercapai, maka perlu adanya law enforcement berupa ketegasan sanksi terhadap pelaku pelanggaran. Kemudian tidak melakukan diskriminasi terhadap pelaku pelanggaran, melakukan sosialisasi PP 10, penyadaran tentang keadilan gender, serta melakukan pemberdayaan perempuan agar tidak tergantung pada suami, terutama secara finansial. Selain itu juga perlu adanya revisi terhadap pasal-pasal yang merugikan perempuan seperti pelarangan poligami tanpa syarat.

Government Regulation (PP) No 45. 1990 Jo. Government Regulation (PP) No 10 1983 is a law that regulates matters related to marriage and divorce for civil servants. Though this law has been issued more than 20 years, there are still shortcomings in its practice in terms of it effectiveness. This can be indicated by the fact that many civil servants in Kutai Kartanegara District are engaged in polygamous marriages. These marriages are carried out without the State’s recognition, even though they are recognized by religious law (nikah di bawah tangan). Others are involved with other women without any marriage ties, such as living together with their partners. Both practices have negative consequences for women. It also raises the following questions. First, how is Government Regulation (PP) No 45. 1990 Jo. Government Regulation (PP) No 10 1983 implemented in Kutai Kartanegara District. Second, how are the violations to the above law carried out. Third, what are the constraints and support towards the implementation of Government Regulation (PP) 10. Polygamy in itself is a form of male hegemony towards women. Through this law, male hegemony is limited by the State. The State is not intervening with the private matters of its citizen, in this case civil servants, but is a form of protection towards the weak. This study uses a qualitative method. The data collection was conducted using two methods. First, documentation of Government Regulation (PP) No 45. 1990 Jo. Government Regulation (PP) No 10 1983 in relation to permission to marry for civil servants. Documentation of previous studies is also done as a reference to this study. Second, in-depth interviews were carried out towards key informants, comprising of leaders of institutions in charge of policies in those institutions, those who violated the law, and civil servants that did not violate the law but were asked about their opinion on the above matter. This study found that the implementation of PP 10 is not effective, which is proven by the many violations towards the law that were not given sanctions because the leaders of the institutions are still influenced by the patriarchal culture. Forms of the violations are living together without having a legal marriage, nikah sirri (engaged in marriages that are not recognized by the state, though recognized by law), and some female civil servants become second wives. The violation of PP 10 shows that policy makers are not strict, very compromising, and at times discriminative. This all depends on the personal closeness of the violator and the head of the institution where that person works, which is also one of the constraints in the implementation of PP 10. Aside from that, there are also no social sanctions for violators in order to support towards this law, because social sanctions are sometimes harsher than institutional ones. Other constraints found are lack of socialization, and the fact that the society and the State do not consider polygamy a problem, even though women are subordinated. Support towards PP 10 can be seen by the fact that women who have gender sensitivity have obtained position as policy makers. Because the aim of PP 10 to provide protection to women has not been achieved, there needs to be law enforcement in the form of strict sanctions towards violators. Discrimination towards violators should also be eliminated, socialization of PP 10 and awareness on gender equality should to be intensified, and empowerment of women should also be carried out so that they do not become dependent towards their husband, especially financially. Aside from that, there needs to be revisions on articles that have negative consequences for women such as banning polygamy regardless of the condition faced

Kata Kunci : Kebijakan Pemerintah,PP No45 Tahun 1990,Perkawinan PNS,Poligami, polygamy, civil servant, women, sanctions


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.