Laporkan Masalah

Politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Pulau Panjang Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat

INDRIYATNO, Yoga Paksi, Drs. Bambang Purwoko, MA

2005 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Penelitian ini difokuskan pada salah satu problematika krusial di Propinsi Kalimantan Barat, yaitu penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan asing. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif, sehingga dapat menemukan isu-isu strategis yang terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan asing dan nelayan lokal pulau Panjang. Hasil penelitian di pulau Panjang, Kabupaten Sambas telah ditemukan beberapa isu strategis, sebagai berikut: Pertama, pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pulau Panjang berdasarkan prinsip ocean management telah dilakukan selama ratusan tahun. Aplikasi tersebut dapat dilihat dengan adanya bentuk pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Pengelolaan secara berkelanjutan di pulau Panjang ini berupa sistem pembukaan dan penutupan wilayah perairan sekitar pulau dari kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil (tenggiri, tongkol dan cakalang) dalam jangka waktu tertentu (open and closed access system). Dalam bahasa sehari-hari masyarakat pulau dikenal dengan Musim Bulan Buka dan Musim Bulan Tutup. Kedua, adanya intervensi nelayan asing dalam pemanfaatan akses sumberdaya perikanan. Dewasa ini, nelayan asing tidak hanya melakukan penangkapan ikan di laut lepas seperti Laut Cina Selatan dan Laut Natuna, namun telah merambah hingga wilayah adat masyarakat nelayan pulau Panjang. Hal ini tentu saja menimbulkan dilema. Disatu sisi, kehadiran nelayan asing sebagai pesaing (kompetitor) bagi nelayan lokal dalam memperoleh sumberdaya perikanan di wilayah hak ulayat adat. Nelayan asing ini juga dapat berperan sebagai predator yang merusak kelestarian nilai kearifan lokal yang telah terpelihara selama puluhan generasi. Aplikasi alat penangkap ikan modern dan teknik penangkapan ikan canggih telah menimbulkan kepincangan bagi masyarakat nelayan lokal yang hanya menggunakan metode dan alat penangkap ikan yang sederhana. Disisi lain, keberadaan nelayan asing yang menginjakkan kakinya di pulau Panjang telah dimanfaatkan oleh nelayan lokal untuk menjual hasil-hasil laut berupa ikan-ikan hidup dan ikan-ikan segar hasil tangkapan serta produk-produk olahan ikan, sehingga kualitas hidup para nelayan tersebut dapat sedikit terangkat. Ketiga, peran pemerintah (negara dan daerah) dirasakan sangat minim. Kehadiran dua kapal pemburu di daerah perbatasan baru sekedar melakukan pengawasan wilayah perairan Indonesia dari intervensi nelayan asing, namun belum menjangkau hingga ke wilayah adat nelayan pulau Panjang. Keterbatasan aparat pengawas ini sering dimanfaatkan oleh kapal-kapal ikan asing untuk semakin menjarah kandungan sumberdaya perikanan di perairan teritorial Indonesia. Keempat, arahan kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah sistem Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat (PPBM) yang disebut Ko-Manajemen. Melalui kebijakan ini terjadi sebuah kemitraan antara pemerintah dan masyarakat lokal yang sejajar tanpa ada saling mendominasi satu dengan yang lain. Melalui kebijakan ini juga pemerintah dapat berperan aktif dalam melindungi sumberdaya perikanan di daearah perbatasan terutama di daerah hak ulayat adat. Sedangkan masyarakat dapat diberikan tanggung jawab dan wewenang oleh pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan yang telah ada melalui nilai kearifan lokal.

This research focuses on one of the crucial problems in Province of West Kalimantan, i.e. the capture of fish illegally by foreign fishermen. It uses the explorative method in finding the strategic issues existed at the management of the fisheries resources between the foreign and local fishermen in Panjang Island of Sambas Regency. The results are some strategic issues as follows: First, the management of the fisheries resources in waters of Panjang Island based on the principle of ocean management was applied over hundreds years. The application can be seen from the facts that now there are any forms of the society-based fisheries management. Such as sustainable managements in Panjang Island are including systems of opening and closing the territorial waters around the island to the capture of small pelagic fish (tengiri, tongkol, cakalang) in certain term (open and closed access system). In the daily language of the society, it is known as Musim Bulan Buka and Musim Bulan Tutup. Second, there are interventions of the foreign fishermen in utilizing many fisheries resources. Currently, the foreign fishermen do not only capture fish in the open seas such as South Chine Sea and Natuna Sea but also cleared away till customary territory of fisheries communities in Panjang Island. This fact of course raised dilemmas. In one hand, the coming of foreign fishermen actually serves as rivals (competitors) to the local fishermen in obtaining the fisheries resources around the territory of hak ulayat adat. The foreign fishermen also can serve as predators that cause the various damages on the preservation of local wisdom preserved for some generations. The use of modern equipments and sophisticated techniques in capture fish cause the lag to the local fishermen that use the simple methods and techniques only. In other hand, the local fishermen utilized the existence of the foreign fishermen in Panjang Island for selling the results of capture in the sea including the live or fresh fish or the processed products of fish, so that the quality of life among the local fishermen can rise. Third, the role of government (state or region) is still felt minimum. For the coming of two hunting ships around the territorial border, its role is just limited to do inspection of Indonesian territorial waters on the intervention of foreign fishermen but not able to reach yet to the customary territory of local fishermen in Panjang Island. Often time the foreign hunting ships utilize the limitedness of inspection officers to plunder the contents of fisheries resources in Indonesian territorial waters. Fourth, a kind of policy that should be taken by government is the Based- Community Management System (BCMS) called Co-Management. Through the policy, an equal partnership between the local government and fisheries communities can be established well, in which the two sides do not tend to dominate each other. Also, through this policy, government can serve actively in preserving the fisheries resources of the territorial border, especially in the territory of hak ulayat adat. Finally, the government can impose the responsibility and authority to the local communities to manage the existing fisheries resources by using the local wisdom.

Kata Kunci : nelayan asing, nelayan lokal, nilai kearifan lokal / hak ulayat adat, foreign fishermen, local fishermen, local wisdom /hak ulayat adat


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.