Laporkan Masalah

Komunikasi interpersonal petugas kesehatan dengan penderita TB dan pengawas menelan obat di Puskesmas Kota Surabaya

HARYATI, Dwi Susi, dr. Sri Retno Irawati, SPA,M.Kes

2006 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Perilaku dan Promosi

Latar belakang: Penyakit tuberkulosis paru di Indonesia merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif (Depkes R.I, 2002). Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan gerakan terpadu berskala nasional untuk mengatasi TB yang lebih dikenal dengan GERDUNAS. Dalam pelaksanaan P2TB, salah satu kegiatan yang dijalankan adalah dengan pengobatan penderita TB dengan OAT jangka pendek dan diawasi oleh seorang PMO. Keberhasilan pengobatan penderita TB sangat bergantung pada kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan penderita dan PMO (DepKes, 2001). Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran proses komunikasi dalam pengobatan TB di Puskesmas Surakarta. Secara khusus, bertujuan untuk 1) Mengetahui komunikasi antara petugas P2TB dan penderita TB, 2) Mengetahui komunikasi antara petugas P2TB dan PMO, 3) Mengetahui komunikasi antara PMO dan penderita TB, 4) Mengkaji persepsi penderita TB dan PMO terhadap penyakit TB. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang disajikan secara deskriptif dengan rancangan penelitian evaluatif. Data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui focus group discussion, observasi dan wawancara mendalam kepada petugas P2TB, penderita TB dan PMO di wilayah kerja Puskesmas Surakarta. Data sekunder didapatkan dari puskesmas dan Dinas Kesehatan Surakarta tentang program P2TB. Hasil penelitian: Komunikasi interpersonal antara petugas dengan penderita TB belum semua dilakukan, beberapa petugas tidak menjelaskan pada penderita/PMO saat berkunjung ke puskesmas. Alasannya karena waktu terbatas dan banyak pekerjaan lain yang menjadi tanggung jawabnya di samping adanya keinginan penderita untuk cepat pulang setelah mendapat obat. Situasi di lapangan menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal antara penderita dengan PMO yang berkaitan dengan penyakit TB jarang dilakukan. Hal tersebut di atas dapat menimbulkan persepsi yang bervariasi bahkan menimbulkan persepsi yang keliru tentang penyakit TB baik oleh penderita maupun PMO. Dengan demikian komunikasi interpersonal yang kurang efektif dimungkinkan menjadi salah satu faktor yang mempunyai kontribusi terhadap munculnya permasalahan tersebut. Kesimpulan: Pelatihan tentang komunikasi interpersonal kepada penderita TB bagi petugas kesehatan dan PMO sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal

Background: In Indonesia, tuberculosis remains as a main public health problem. It is estimated that in every 100.000 Indonesian community, there are 130 new patients of positive BTA tuberculosis (Depkes R.I, 2002). The government of Indonesia through P2-TB program never stopped facing TB. In the year of 1999, the government has proclaimed a national scale integrated movement to control TB which is more popular with GERDUNAS. In the implementation of P2-TB, one of the activities which were implemented was treatment of TB BTA positive patient with short term OAT and controlled by one DOTS provider. The successfulness of TB patient treatment is very dependent on the ability of health care provider in doing interpersonal communication with the patient and DOTS provider (DepKes, 2001). Objectives: In order to find out the description of communication process in TB treatment in Primary Health Care in Surakarta. Specifically, this research was aimed at examining 1) the communication between the officer of P2TB and TB patient, 2) the communication between the officer of P2TB and DOTS provider, 3) the communication between DOTS provider and TB patient, 4) and the perception of TB patient and DOTS provider toward TB disease. Method: This was a qualitative descriptive research with evaluative research design. Primary data in this research was obtained through focus group discussion with TB patients, observation and in-depth interview with the officer of P2TB, TB patients and DOTS providers in the working area of Primary Health Care in Surakarta. Secondary data was obtained from Health Office in Surakarta and Primary Health Care in Surakarta which were closely related with P2TB program. Result: Interpersonal communication between the health care provider and TB patient was not well implemented. Some health care providers never giving explanation to the patient nor DOTS provider when visiting the Primary Health Care. The reason was because of DOTS providers’ time limitation and other jobs that becomes their responsibility besides patient’s willingness to go home soon after obtaining the drugs.The field situation also showed that communication between patient with DOTS provider that was related with TB disease was rarely implemented. This could cause various perception even false perception of the DOTS provider or the patient regarding TB disease. Therefore, uneffective interpersonal communication is predicted as one of the factors contributed to the existence of the problem. Conclusion: Training on interpersonal communication with health care provider and DOTS provider is necessary to implement effective interpersonal communication.

Kata Kunci : Promosi Kesehatan,Program Pengobatan,TB Paru


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.