Persepsi stigmatisasi keluarga penderita gangguan jiwa yang berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa Bandung

KOMARIAH, Enok, Dra. Sumarni, M.Si

2005 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Manajemen Rumah Saki

Latar Belakang: Stigma merupakan persepsi yang salah atau negatif terhadap sesuatu hal dalam hal ini gangguan jiwa. Stigma dapat menyebabkan isolasi. Orang dengan gangguan jiwa akan mener ima pandangan yang negatif tentang gangguan jiwa sehingga ini merupakan stresor yang akan meningkatkan stres pada diri penderita gangguan jiwa yang dapat menyebabkan masalah psikologis lebih lanjut. Beberapa dari mereka akan menghindari/menolak bantuan karena takut akan distigmatisasi lebih parah atau diisolasi. Stigma yang ada di masyarakat dipengaruhi oleh sifat penyakit, beratnya penyakit, dan bagaimana respon terhadap penyakit tersebut. Dibidang pelayanan kesehatan jiwa ada dua stigma yang menumpuk menj adi satu yaitu stigma terhadap “gangguan jiwa” dan stigma terhadap “rumah sakit jiwa” yang keduanya akan menghambat pengobatan dan penyembuhan gangguan jiwa. Tujuan: untuk menggambarkan stigma terhadap gangguan jiwa oleh keluarga penderita yang berkunju ng ke Rumah Sakit Jiwa Bandung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kasus. Responden dalam penelitian ini adalah keluarga pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa Bandung. Data diperoleh dengan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (DKT). Hasil: Keluarga, pada saat pertamakali mengetahui salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, hampir semuanya membawa berobat ke dukun/orang pintar atau ajengan, karena mereka beranggapan bahwa gangguan jiwa diseb abkan karena guna-guna. Setelah berobat ke dukun/orang pintar ternyata tidak mengalami perubahan dan sudah menghabiskan biaya yang cukup besar, maka keluarga baru membawa pasien ke rumah sakit jiwa atas saran aparat desa, petugas kesehatan, dan keluarga lain yang pernah menggunakan fasilitas pelayanan di rumah sakit jiwa. Kesimpulan:Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan jiwa atau gangguan jiwa menyebabkan masyarakat mempunyai persepsi yang negatif, baik terhadap penyakitnya maupun terhadap rumah sakit jiwanya. Oleh karena itu penyuluhan tentang gangguan jiwa perlu lebih ditingkatkan dengan melibatkan keluarga pasien melalui paguyuban, aparat desa, maupun Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan program TP-KJMnya (Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat).

BackgroundThe stigma associated with mental disorders is a false or a negative belief toward people who have mental disorders. Due to these falsehoods, individuals with mental disorders have been isolated because people believe that individual with a mental illness is potentially dangerous. Stigma contributes to distress and discrimination against people with a mental illness and their families. The result is that many people are reluctant to seek help, less likely to cooperate with treatment, and slower to recover self -esteem and confidence because they are trying to hide their illness and become fear to express whom they are. Factors influencing the stigmatizing behaviors in the community are the nature of the illness, the severity of the illness and the response to the disease. There are two kinds of stigma in the mental health care service, the stigma toward the illness and the stigma directed to the health service provider. The existences of stigma often worsen the mental illness treatment programs. Objective To assess families’ perceptions about the stigma of mental illness. Methods/setting The study was undertaken using qualitative research methodology, specifically, the case study approach. The study populatio n was the families who visit Bandung Mental Hospital. Data were collected through indepth interviews and focus group discussions (FGD). Results Some participants believed that mental illness caused by supernatural power or black magic. This was the reason why they took the mentally ill people to the shamans or religious leaders. Obviously, this will prevent mentally ill people to get adequate treatment from health care professionals. When the treatment from shamans or religious leaders failed and the illness became worse and chronic, the families started to seek help from health care professionals in mental hospital. It is no wonder why the mental health care providers are seen as the place where mad people go. ConclusionsLack of knowledge about mental disorders information is the reason why people perceived mentally ill person in a negative way. The findings suggest that educational campaigns aimed at people in the community will help to demystify mental illness and reduce the portrayal of offensive stereotypes of people with mental illness. The programs such as consumers’ participation group and education team in community mental health as part of the programs run by Bandung Mental Hospital need to be improved.

Kata Kunci : Manajemen Rumah Sakit,Gangguan Jiwa,Stigmatisasi Keluarga Penderita,Stigma, perception