Laporkan Masalah

Pengaruh tebal lamina tanpa sambungan dan panjang penyaluran sambungan miring terhadap kapasitas lentur balok kayu laminasi

WIDODO, Sembodo Wahyu, Dr.Ir. Fitri Mardjono, M.Sc

2005 | Tesis | S2 Teknik Sipil

Kayu merupakan salah satu material konstruksi yang dapat diperbaharui secara alami. Potensi kayu di Indonesia sangat melimpah. Namun akibat pemanfaatan/eksploitasi yang tidak memperhatikan reboisasi, kayu-kayu tersebut menjadi sulit didapatkan dan terbatas dalam ukuran tertentu. Sebagai solusi untuk tetap dapat mendapatkan kayu dalam dimensi besar digunakan teknik laminasi. Untuk memenuhi dimensi tersebut, hampir pasti akan dihadapkan pada upaya melakukan penyambungan. Salah satu bentuk sambungan yang dapat dilakukan adalah sambungan miring dimana sambungan dapat dilakukan pada balok laminasi maupun pada lamina balok laminasi. Untuk penyambungan pada lamina balok laminasi, panjang penyaluran dapat ditentukan sedemikian hingga variasi panjang penyaluran tersebut akan membentuk pola penyambungan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh tebal lamina tanpa sambungan dan panjang penyaluran terhadap kapasitas lentur balok kayu laminasi. Kayu yang digunakan adalah Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria atau Albizia Falcataria) dalam bentuk papan dengan tebal 2 cm, lebar 5 cm, dan panjang 174 cm. Satu balok laminasi menggunakan 4 buah papan kayu. Variasi yang dilakukan adalah BSM100% (semua lamina tanpa sambungan), BSM75% (75% lamina tanpa sambungan dan 25% lamina dengan sambungan miring), BSM50%, BSM25%, dan BSM0% (semua lamina dengan sambungan). Variasi panjang penyaluran yang digunakan untuk semua balok kecuali BSM100% adalah 10 cm dan 20 cm. Untuk memperoleh hasil yang lebih teliti, setiap variasi balok dibuat 3 benda uji. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sambungan pada balok merupakan daerah perlemahan. Kerusakan yang terjadi menunjukkan pola kerusakan yang terjadi di sekitar/pada daerah sambungan. Makin sedikit persentase lamina tanpa sambungan, balok menunjukkan penurunan kekuatan. Penurunan kekuatan balok BSM75%-A, BSM50%-A, BSM25%-A, dan BSM0%-A terhadap balok BSM100% berturut-turut adalah 3,72%, 10,7%, 12,09%, dan 24,84%, sedangkan balok BSM75%-B, BSM50%-B, BSM25%-B, dan BSM0%-B berturut turut adalah 2,14%, 7,53%, 10,98%, dan 17,95%. Dua variasi panjang penyaluran yang dipakai menunjukkan bahwa semua balok yang menggunakan panjang penyaluran 20 cm memiliki kekuatan lebih kuat dibandingkan dengan panjang penyaluran 10 cm.

Wood is very potential for construction material since it is naturally renewable. Indonesia has wood in abundant, but they are now limited especially those with a certain dimension because the replanting system is neglected. As the solution for this, we perform a lamination technique to gain wood with a bigger dimension. The desirable dimension is facing a new challenge, that is a joining process. One of the joint types is the scarf joint, where particularly for this type the joints can be done for glulam beam or at the lamina of the glulam beam. The joint at the lamina should be performed by measuring the development length in many of its variations which in turn will shape a certain pattern of joint. This research is aimed at finding out the influence of the lamina thickness without joint and the development length towards the elastic capacity of the glulam wood beam. The wood in this research was Sengon Wood (Paraserianthes Sp. or Albizia Sp.) in the form of board with dimension of 2 cm thick, 5 cm wide, and 174 cm length. One of the glulam beams was made by 4 peaces of wood board. The variation was BSM100% (the whole lamina without joint), BSM75% (75% of lamina without joint whereas the other 25% with scarf joint), BSM50%, BSM25%, and BSM0% (the whole lamina with joint). The development length variation for all beams except for BSM100% was 10 cm and 20 cm. In order to achieve a detail result, each beam variation was loaded by 3 (three) testing tools. The result showed that the joint on beam was in fact the weaken point. The failure pattern surely illustrated a failure around the joint as well. In general there would have been a decrease on the strength of beam if the percentage of joint becomes higher. The decrease on beam strength of BSM75%-A, BSM50%-A, BSM25%-A, and BSM0%-A towards BSM100% was respectively 3.72%, 10.7%, 12.9%, and 24.84%, meanwhile the beams of BSM75%-B, BSM50%-B, BSM25%-B, and BSM0%-B was respectively 2.14%, 7.53%, 10.98%, and 17.95%. The two types of development length variation showed that beam with 20 cm of development length has a greater strength than the 10 cm one.

Kata Kunci : balok kayu laminasi, sambungan miring, panjang penyaluran, glulam wood beam, scarf joint, development length


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.