Peristiwa "Black September 1997" dan usaha pencegahan kerusuhan antar etnis di Kota Makassar

SAING, Halik, Drs. Riza Noer Arfani, MA

2005 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional (Magister Perdamaian dan Res

Peristiwa “Black September 1997” di Kota Makassar merupakan pengulangan dari peristiwa-peristiwa kekerasan dengan sentimen etnis yang terjadi dengan pola-pola kejadian yang hampir sama. Diawali dengan peristiwa kriminal murni yang segera meluas menjadi kekerasan. Kekerasan dengan sentimen etnis dapat dilihat sebagai akumulasi persoalan yang multidimensi yang berakhir dengan wujud serangan kepada etnis Tionghoa. Oleh karena itu, fenomena ini patut dikaji guna mem-berikan pemahaman yang lebih luas tentang dimensi-dimensi akar, penyebab, dan pemicu agar dapat dikembangkan seuatu model pencegahan konflik. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskripitif dengan mengguna-kan sumber data tertulis maupun hasil wawancara dengan para narasumber dari etnis Tionghoa maupun Pribumi (etnis Bugis-Makassar) di Kota Makassar guna mendapatkan gambaran umum konflik dari dua sudut pandang. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam wawancara meliputi dimensi-dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang melahirkan potensi konflik dalam hubungan Tionghoa dan Pribumi di Kota Makassar. Pendekatan Sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi relasi antaretnis dalam bidang perdagangan, keterwakilan dalam bidang politik, peluang dalam bidang-bidang pendidikan dan apresiasi terhadap masing-masing budaya. Hasil penelitian itu sendiri menunjukkan bahwa kekerasan dengan sentimen etnis dibangun oleh kondisi struktural ditandai dengan dominasi etnik Tionghoa dalam bidang perdagangan yang tidak tersaingi oleh etnis-etnis pribumi di Kota Makassar. Sementara itu etnis Pribumi mendominasi bidang politik yang menjadi strategis bagi kebijakan dalam bidang pendidikan dan sosial. Ketiadaan satu media yang mempertemukan etnik Tionghoa dan Pribumi adalah realitas yang melahirkan persepsi dan prasangka etnis. Pemerintah negara yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah dan aparat negara mengambil manfaat dari keterpinggiran etnis Pribumi maupun Tionghoa sehingga justru memperkuat simbol-simbol identitas primordial etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Makassar. Ketiadaan masyarakat sipil yang kuat juga menyulitkan kontrol terhadap sikap negara dalam hubungan Tionghoa dan Pribumi sehingga potensi kekerasan Pribumi-Tionghoa menjadi bersifat permanen. Oleh karena itu penelitian merekomendasikan suatu model pencegahan konflik dengan inisiatif lokal melalui pembentukan lembaga yang bersifat lintas etnis yang akan bekerja dalam komunitas-komunitas Pribumi dan etnis Tionghoa

The Black September 1997 that occurred in Makassar was a repetition of a series of violence with ethnic sentiments that has occured in similar patterns. All of them began as pure crimes that soon spread and became violence. Violence with ethnic sentiments can be viewed as an accumulation of multidimensional problems that ends up with attacks to the Chinese comunity. These phenomena, therefore, deserve a deep study to provide wider understanding on the dimensions of roots, causes, and triggers in order that it can be developed into a model of conflict prevention. The research was designed as a descriptive research by using data from secondary resources and interviews with informants, both those of Chinese and local ethnic groups (which is in this case refer to Bugis and Makassar ethnic groups) in the city of Makassar. This was done to obtain a general picture of the conflicts from two points of view. Questions that were given to the informants covered those of political, economic, social, and cultural dimensions that bring up conflict potential in the relation between the Chinese and Bugis-Makassar comunity. The sociological approach that was used in the research comprises relation among the ethnic groups in trading, representatibility in politics, opportunity in education, and appreciation of culture of each ethnic group. The result of the research shows that violence with ethnic sentiments was built by a structural condition and marked by the dominance of Chinese ethnic group in trading that is difficult to be competed by the local ethnic groups. While the Chinese ethnic dominates the trading world in the city, the local ethnic groups dominate the political world that is strategic for policy in education. The absence of media that can meet those two conflicting ethnic groups is a reality that results an ethnic misperception and prejudice. The state government that is represented by the local government and state apparatus take advantage of the marginalisation of the Chinese and local ethnic groups to stregthen the primordial indentity symbols of both the Chinese and local ethnic groups. The absence of strong civil society also creates difficulty to control the attitude of the state towards the relation between those ethnic groups so that the violence potential among those ethnic groups has become permanent. This research, therefore, recommend a model of local initiative to conduct conflict prevention by forming intitutions that are inter ethnic in nature and that will work inside the Chinese and local ethnic groups

Kata Kunci : Konflik Etnisitas,Sistem Pencegahan