Sumber-sumber perdamaian dalam hubungan Pribumi-Tionghoa di Yogyakarta
SETYOWATI, Endah, Dr. Nanang Pamuji Mugasejati
2005 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional (Magister Perdamaian dan ResKeberadaan orang Tionghoa di Indonesia senantiasa dalam posisi yang kompleks. Hal ini disebabkan pertama oleh proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah nasion. Nasion itu sendiri dibangun oleh suku bangsa-bangsa yang mendasarkan kepribumian dengan tingkatan pemilikan atau pemanfaatan sumber daya yang ada dalam suatu wilayah. Kepribumian kemudian menjadi isu kritis bagi orang Tionghoa karena dalam realitas kehidupan antarsuku bangsa, orang Tionghoa dipandang sebagai pendatang, sebagai orang asing, atau bukan orang Indonesia. Persepsi semacam ini kemudian melahirkan sikap dan perilaku tertentu dalam hubungan antara Tionghoa dan Pribumi. Kebijakan negara yang ambigu terhadap orang Tionghoa dalam bentuk memberikan keleluasaan dalam bidang ekonomi yang seiring dengan batasan-batasan dalam bidang politik dan hukum pada gilirannya memposisikan orang Tionghoa senantiasa dalam situasi rentan secara horisontal maupun vertikal. Kota Yogyakarta, seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, juga dihuni oleh minoritas orang Tionghoa yang memberikan kontribusi cukup signifikan bagi perekonomian kotanya. Akan tetapi riwayat gesekan antara Pribumi dan Tionghoa di Yogyakarta relatif minim, juga ketika fenomena kebijakan ambigu terhadap orang Tionghoa mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan data-data yang bersifat kualitatif untuk mengetahui sumber-sumber perdamaian dalam hubungan Pribumi-Tionghoa di Yogyakarta. Informasi yang berkenaan dengan persepsi, sikap, dan perilaku dalam hubungan Pribumi Tionghoa dianalisis melalui pendekatan sukubangsa, antarsuku bangsa, dan peran Negara. Hasil analisis memberikan gambaran umum mengenai model pengelolaan konflik dan potensi konflik yang berbeda di dalam hubungan di level suku bangsa, antarsuku bangsa dan negara namun menjadi keluaran sebuah model pencegahan konflik yang sejauh ini memadai untuk menghindarkan potensi konflik dalam hubungan Pribumi-Tionghoa di Yogyakarta. Adanya sebuah kultur yang dominan di Kota Yogyakarta, yakni Kultur Jawa melahirkan sikap, persepsi, dan perilaku yang mencirikan budaya Jawa pada Pribumi maupun Tionghoa dalam level hubungan suku bangsa dan antarsuku bangsa. Kesamaan kultur yang ditunjukkan dengan bahasa dan perilaku ketetanggaan dengan landasan nilai-nilai dan norma budaya Jawa, menjadikan orang Tionghoa diterima sebagai bagian solidaritas pribumi di level ketetanggaan. Persepsi sebagai bukan bagian dari solidaritas pribumi muncul pada level tempat-tempat umum, tempat aturan dan norma negara mulai berkerja, misalnya pada lembaga pendidikan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa perbedaan etnik yang dikaitkan dengan sentimen agama merupakan potensi konflik dalam hubungan Pribumi-Tionghoa di tempat-tempat umum. Adapun Negara yang mewujud pada pemerintah adalah sumber potensi konflik yang melahirkan persepsi, sikap, dan perilaku oleh pemerintah terhadap orang Tionghoa dan potensial diturunkan kepada level hubungan antarsuku bangsa. Oleh karenanya perlu dikembangkan penguatan model sistem pencegahan konflik yang berbasis kebutuhan dan inisiatif masyarakat sebagai alternatif andaikata kultur dominan tidak lagi mampu menjadi mekanisme pencegahan konflik yang melibatkan sentimen etnis di Yogyakarta.
The position of the Tionghoa (Indonesian Chinese) community in Indonesia is very complex, in large part the result of process of Indonesia into becoming a nation by various ethnics in Indonesia claiming land ownership. Native ness, then, became a critical issue for the Tionghoa in Indonesia as they are perceived as emigrants, foreigners, not Indonesians. Such perceptions generated certain attitudes and behaviors towards the Tionghoa. Furthermore, the government’s ambiguous policy in giving them economic freedom, albeit with political and legal limitations has constantly placed this community in both horizontal and vertical vulnerability. Yogyakarta, like other cities in Indonesia, is inhabited by Tionghoa minority which has contributed significantly to the city’s economic growth. However, the amount of conflicts between Pribumi(Native Indonesians) and Tionghoa in Yogyakarta is minimal, even when the government’s ambiguous policy towards the Tionghoa reached its climax during the New Order(Orde Baru) Regime. The following research was conducted as a qualitative study in order to discover the sources of peace in the relationship between Pribumi and Tionghoa in Yogyakarta. Data regarding perception, attitude, and behavior in the relationship was analyzed at the intra-ethnic, inter-ethnic and national levels. Although this analysis provides only a general framework, it is a sufficient conflict management model to avoid potential conflict between the Pribumi and The Tionghoa in Yogyakarta. The domination of Javanese culture in Yogyakarta resulted in typical Javanese perceptions, attitudes and behaviors between Pribumi and Tionghoa at the intra-ethnic and inter-ethnic levels. The Tionghoa were accepted as neighbors (a form of Pribumi solidarity) because they adopted Javanese culture, language and norms-based attitudes. Non-solidarity appeared in public places where the state norms and rules were applied, such as educational institutions. This study shows that ethnic difference, linked with religious sentiment creates the pontential for conflict between The Pribumi and The Tionghoa in public sphere. Government rules produces certain perceptions, attitudes, and behaviors towards The Tionghoa that may be spread to the inter-ethnic relationship. As such, a conflict prevention system that is based on community need and initiative should be developed as an alternative to the dominant culture in the event that the dominant culture can no longer prevent conflict.
Kata Kunci : Perdamaian,Hubungan Pribumi dan Tionghoa,Kultur Jawa, intra-ethnic, inter-ethnic, state’s role, cultural domination, conflict prevention.