Laporkan Masalah

Perayaan Tahun Baru Imlek di Masjid :: Pembauran melalui konversi agama dan kontestasi identitas

SYARIF, Ubed Abdilah, Dr. Irwan Abdullah

2005 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Penelitian tesis ini terfokus pada kelompok minoritas dari kelompok minoritas di Indonesia, yaitu kelompok muslim Tionghoa, yang ada di Indonesia. Pasca reformasi 1998 yang meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru dan maraknya protes serta berkembangnya praktek demokrasi, tiba-tiba minoritas Tionghoa di Indonesia menjadi sorotan dan pusat perhatian. Kerusuhan Mei 1998 yang dianggap sebagai kerusuhan terburuk terhadap minoritas Tionghoa di Indonesia dalam beberapa hal telah membuka kesadaran masyarakat Indonesia dan toleransi yang lebih terbuka. Pemerintahan pasca Suharto mulai merubah kebijakan politisnya terhadap minoritas Cina yang berimbas pada kebijakan kultural. Hal yang pertama dilakukan adalah perkenan pemerintah bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Tahun Baru Tionghoa (Imlek) secara terbuka.Kebijakan ini dilanjutkan dengan mereduksi bebrapa Undang-Undang yang dianggap membatasi dan mendiskriminasi warga Tionghoa di Indonesia meski dalam hal status keagamaan (agama Konghucu) belum dituntaskan seperti yang diharapkan. Tionghoa muslim di Indonesia telah lama berjuang untuk mengemukakan identitasnya. Pada masa Orde Baru, Tionghoa muslim sempat mendapat angin segar sejalan dengan program asimilasi yang dianjurkan pemerintah yang salah satunya melalui konversi agama. Asimilasi melalui konversi ke agama Islam dianggap sebagai sebuah puncak asimilasi karena warga Tionghoa akan betul-betul berbaur dengan mayoritas pribumi yang memeluk agama Islam (Junus Jahja, HAMKA). Di sisi lain, pada masa lalu terdapat pencitraan yang menunjukkan bahwa agama Kristen adalah agama kolonial (eropa) yang notabene adalah penjajah. Sehingga, pemeluk agama Kristen dianggap sebagai antek penjajah dan keindonesiaannya dianggap kurang sempurna. Isu-isu tentang kristenisasi danhubungan dengan agama Kristen selalu mengundang posisi kritis dalam politik Indonesia. Pasca runtuhnya Orde Baru yang menghembuskan angin segar kebebasan bagi minoritas Tionghoa di Indonesia muncul semacam rekonstruksi identitas baik secara politis maupun kultural oleh warga Tionghoa, tidak ketinggalan kelompok Tionghoa Muslim. Diawali dengan kehendak untuk mengapresiasi perayaan tahun baru Imlek, kelompok Tionghoa muslim di Yogyakarta menggelar perayaan Imlek secara Islami di sebuah Masjid yang bersejarah di kota itu. Anggapannya, perayaan Imlek adalah sebuah prosesi kultural semata dan tidak berpretensi teologis dan kepercayaan, sehingga bisa dilaksanakan oleh siapapun warga Tionghoa terserah agamanya. Meski mendapat tentangan dari kelompok Islam Majlis Mujahidin yang menganggap perayaan Imlek di masjid itu mencemari keyakinan Islam, akhirnya perayaan tersebut berjalan baik. Melalui pendekatan studi kebudayaan, teori postmodernisme dan dekonstruksi, penelitian ini menguji bagaimana politik identitas disini beroperasi ketika Tionghoa muslim di Yogyakarta ini merekonstruksi identitasnya sebagai Tionghoa sekaligus sebagai muslim. Politik identitas juga beroperasi pada maraknya kegairahan baru yang dirasakan minoritas Tionghoa dalam mengartikulasikan kebebasannya pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Kegairahan itu muncul dalam representasi kultural dan politik antara lain munculnya partai politik yang mendasarkan pada kecinaannya, partisipasi mereka dalam kancah politik (Pemilihan Umum), terpilihnya para wakil rakyat dari kalangan Tionghoa serta representasi kebudayaan Tionghoa dalam media seperti munculnya koran berbahasa Tionghoa/mandarin, acara televisi yang berbahasa Tionghoa/ mandarin dan lain-lain. Kegairahan ini telah mendorong upaya demokratisiasi, transparansi politik dan civil society yang melibatkan warga Tionghoa Indonesia.

This research focused on a minority of a minority group in Indonesia—the Moslem group of Indonesian Chinese—which have risen from silence. After the New era of Indonesian Reformation of 1998, protests escalated and democracy widened through the country, suddenly Chinese group as part of Indonesian society found themselves at the center of discussion. Riots of May 1998 are considered as worst violence towards Chinese in Indonesia but it has also made Indonesian society, in some ways, more tolerant of Chinese existence. The post Suharto’s government made new policies towards ethnic Chinese criticizing New Order Policies. The Post New Order governments tried to accept this minority group as well as other groups of ethnicity. The first policy made the ethnic Chinese to have a free Chinese New Years celebration (Imlek), followed by reducing other rules which discriminated the ethnic Chinese like media representations, cultural performances and language expression. One exception is religious expression which still has not been acknowledged as national religions. Moslem Chinese in Indonesia have strongly struggled for their identity. It has been conducted and supported by the New Order regime as a way of Assimilation Program. It is assumed by converting to Islam, assimilation would be successful because Islam is the religion held by the majority of Indonesians (Junus Jahja, Hamka). Becoming a Moslem in Indonesia, Chinese are more acceptable as an aspect of Indonesian (pribumi) than Buddhist Chinese or Christian Chinese. There are images and perceptions, in some ways, that Christianity is a colonial religion, coming from the West and held by people who colonized Indonesia for more than 300 years. So, being Christian is supposed to be not being Indonesia, and issues which are related to Christianity always become crucial and political. In the sense of freedom after Suharto regime was defeated, Moslem groups of Indonesian Chinese wanted to express their identity as Chinese as like others. This group wanted to be considered as Chinese as well as Moslems. A Moslem group of Chinese in Yogyakarta expressed their Chinese identity by celebrating the Chinese New Year (Imlek) 2555 (early 2004) in a Mosque named Masjid Syuhada, Kotabaru, Yogyakarta. They assumed that Imlek is merely a cultural tradition not a religious festival of certain religion or belief. So, it could be celebrated by all Chinese, whatever religion. For the beginning this celebration launched, there was a Moslem group (Majlis Mujahidin) disagree with this celebration assuming that Imlek was a bid’ah or Syirik (not allowed by the Sunnah) and coming from Kong Hu Cu. But finally, the celebration was successful. Through Cultural Studies approach, postmodern theory and deconstruction theory, this research tries to examine how politics of identity operates when a Moslem Chinese group in Yogyakarta expressed their Chinese identity and their Islamic identity as well within Imlek New Years celebration. Politics of identity appeared also when a Moslem group rejected this celebration because of their different understanding about Imlek New Years. Moreover, politics of identity apparently rises up Chinese identity on public sphere of Indonesian, but on political areas such as political parties, institutions and pressure groups. These contesting identities later forced democracy being urged to be practiced, as well as political transparency, and good government and freedom of expression.

Kata Kunci : Muslim Tionghoa,Konversi Agama,Imlek di Masjid


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.