Agama dan budaya dalam perkawinan Betawi :: Negosiasi agama dan budaya dalam perkawinan Betawi di Kecamatan Babelan Bekasi
HUNAINAH, Siti, Prof.Dr. Aristarchus Sukarta
2005 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan AgamaInteraksi agama dan budaya lokal dalam suatu komunitas masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali masyarakat Betawi. Tradisi perkawinan Betawi adalah salah satu contoh dimana agama dan budaya lokal (tradisi) saling mempengaruhi dan ikut memberi warna dalam prosesi tersebut. Menariknya masyarakat Betawi, ketika mengekspresikan tradisi di berbagai acara ritual, tidak ada satu pun yang hanya mewakili satu unsur kebudayaan saja. Mengingat budaya Betawi adalah budaya yang terbuka, sehingga memungkinkan adanya ruang untuk terjadinya dialog dan negosiasi dengan budaya lain. Karenanya tidak lah mengherankan jika di dalam perkawinan Betawi ditemukan unsur budaya Arab, Cina, Sunda, Jawa dan lainnya dalam satu tempat. Banyak tahapan-tahapan dalam prosesi perkawinan Betawi yang bersentuhan langsung antara agama (Islam) dengan budaya setempat. Sebut saja maulidan, ziarah, paketan dan masih banyak yang lainnya. Belum lagi banyaknya simbol yang terdapat dalam prosesi perkawinan Betawi, seperti halnya pemberian uang belanja yang berbentuk miniatur masjid merupakan simbol dari nafkah yang diberikan suami untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, yang diperoleh dengan jalan yang halal. Atau pun tradisi buka palang pintu yang melambangkan sebuah kehidupan rumah tangga yang tidak selalu mulus, kadang pasangan suami istri akan menemui masa konflik. Disisi lain masyarakat Betawi masih memiliki warisan-warisan animisme yang sampai sekarang masih dapat dilihat dalam perkawinan Betawi, setiap akan diadakan hajatan kawinan (keriaan) biasanya yang punya hajat terlebih dahulu mengadakan ritual dibarengi dengan pemberian sesajen, maka di empat penjuru perkarangan rumahnya selalu di pasang sesajen (ancak). Begitu juga di atas atap rumahnya, hal ini diyakini untuk memberi makanan para mahluk halus lain yang menghuni kampung atau roh nenek moyang mereka. Dengan menyediakan sesajen itu dimaksudkan untuk menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penyelenggaraan hajatan berlangsung. Disinilah terjadi negosiasi dalam perkawinan Betawi, dimana unsur agama dan budaya lokal bertemu dalam satu tempat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun pendekatan yang digunakan adalah kombinasi etik dan emik, artinya bahwa data etnografi tidak hanya diperoleh dari informasi warga masyarakat Betawi yang bersangkutan, melainkan juga dapat diperoleh dari pemikiran yang berpijak pada Antropologi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana agama dan budaya lokal saling mempengaruhi dalam perkawinan Betawi dan untuk melihat secara kritis pola-pola negosiasi yang terjadi antara agama dan budaya lokal dalam perkawinan Betawi. Sedangkan hasil dari penelitian ini dapat dilihat, bahwasanya pola hubungan agama dan budaya lokal yang terdapat dalam prosesi perkawinan Betawi di Kecamatan Babelan sangat kooperatif dan saling menghargai. Dalam artian bahwa keduanya saling menempati diposisinya masing-masing dan bentuk-bentuk yang terjadi dalam proses negosiasi saling mempengaruhi tanpa mengurangi makna dari sahnya perkawinan itu sendiri.
The interaction between religion and local culture is an undeniable fact in the community; specifically it happened into the Betawi people. The Betawi wedding tradition is one pattern whereas both religion and local culture influences each other and it also gave some nuances in that procession. Interestingly, there is no one culture among others that represented when the Betawi people expressed their tradition. It means that the Betawi culture is an inclusive culture, and this possibly making the space of dialogue and negotiation with other cultures. Therefore, in Betawi culture unsurprisingly founded other elements of culture, such as Arab, Chinese, Sundanese, and Javanese culture. There are many stages in the Betawi wedding that is touching within Islamic religion and local culture. For example, maulidan, ziarah, paketan, etc. besides, there are many symbols in the procession itself, such as giving expenditure that symbolized by mosque miniature. It means that giving describes the money that gave by the husband to the wife for house needed, and this money obtained by legal method. There is also a tradition namely the barrier house opening tradition that is symbolizing the unflawed life of the house. It means that the couple marriage will face such conflict in their life. In addition, Betawi people still have the inheritance animism and it showed in the marriage procession. In every marriage celebration (keriaan), the celebrator firtly usually celebrate the ritual and giving offerings (sesajen) altogether. The offerings (ancak) put dawn into the forth angles of house. It is convinced to give the food to the spirit who settle in the village or their ancestral. By preparing the offerings (ancak) mean to save and to avoid the unwillling thing along the celebration. Certain aspect in the Betawi wedding showed the negotiation whereas the elements of religion and local culture found the meeting point. The technical of collecting data that is used in the research are observation, deep-interview and documentation. The approach that is used is a combination both ethic and emic. It means that the ethnographic data not only obtained from the information of Betawi people in Babelan, but it also obtained from the idea of anthropology. The purpose of research is trying to know how the religion and local culture influenced each other in the Betawi wedding and to see also critically the patterns of negotiation between religion and local culture in the Betawi marriage. The result of research shows that the pattern of relationship of religion and local culture in wedding procession in Babelan sub district of Bekasi very cooperative and appreciate each other. It means that both of poles positioning their selves and the types of negotiation process is influences without decrease and vague the meaning of the legal wedding itself.
Kata Kunci : Agama dan Budaya,Negosiasi,Perkawinan Betawi,Religion, Culture, Negotiation, Wedding