Konflik etnisitas dalam pemekaran wilayah :: Studi tentang konflik etnisitas dalam pembentukan Kabupaten Mamasa

HASANUDIN, Andi Hasnul, Dr. I Ketut Putra Erawan, MA

2005 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Semangat reformasi dan keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang memindahkan sebagian besar fungsi pemerintah ke kabupaten/kota, tentunya akan membawa konsekuensi. Demikian halnya terkait dengan upaya pemekaran di berbagai daerah. Peluang tersebut pun banyak dimanfaatkan oleh berbagai daerah untuk berdiri sendiri. Begitu juga dengan tuntutan pemekaran daerah Kabupaten Polewali Mamasa muncul dari adanya desakan dari tokoh-tokoh masyarakat ex Kewedanan Mamasa bersama pemikir-pemikirnya dan atas dukungan seluruh rakyat di ex Kewedanan Mamasa maupun yang berada di perantauan. Peran pemerintah pusat sangat besar dalam menciptakan konflik yang terjadi di wilayah ATM yang tidak peka dan mengakomudir kepentingan dan aspirasi masyarakat yang termuat dalam kesepakatan Matakali. Juga disebabkan kuatnya pengaruh dan loby dari elit nasional yang duduk di DPR Pusat, yang berasal dari etnis Mandar pada waktu itu. Karena selama ini di Sulawesi Selatan etnis Mandar tidak pernah menduduki jabatan penting atau strategis, baik di birokrasi dan percaturan politik lokal di Sulawesi Selatan. Kabupaten Mamasa merupakan kunci dari keberhasilan pembentukan Propinsi Sulawesi Barat, di mana dulunya adalah bagian dari Propinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten Mamasa yang lepas dari kabupaten induk (Polmas) berdasarkan penetapan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Propinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yang menghubungkan dunia abstrak dengan dunia realitas. Realitas diinterpretasi maknanya dengan mempergunakan metodologi kualitatif deskriptif. Dengan terbentuknya Kabupaten Mamasa justru menimbulkan konflik etnisitas di wilayah ATM yang memang pada awal pembentukan kabupaten tersebut tetap menolak bergabung dengan Kabupaten Mamasa. Konflik ini menjadi runyam karena elit yang lebih dominan bermain dengan memobilisasi massa yang mengangkat kembali semangat primordialisme yang memang sudah lama terjadi dan terpatri dari generasi ke generasi sejak abad ke-16, hingga pra dan pasca pemekaran Kabupaten Mamasa. Juga ada perbedaan identitas yang nyata, yaitu perbedaan kultur dan buadaya. Inti dari konflik tersebut sebenarnya adalah perebutan tanah (SDA dan ekonomi) karena tanah bagi masyarakat agraris merupakan kebanggaan dan harga diri. Kemudian dengan terbentuknya Kabupaten Mamasa, tidak ada kejelasan mengenai tapal batas sebagai posisi tawar dalam penyelesaian konflik di ATM, karena batas tanah dan wilayah masyarakat yang pro dan kontra bercampur baur, sejak orang Bambang berkuasa secara de facto pasca pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar dan masuknya Batalion Tentara 7-10. Konflik etnisitas yang terjadi di ATM ternyata bukanlah konflik SARA, tetapi akibat dari perebutan wilayah kekuasaan oleh pendukung Hadat PUS yang mengakui kepemimpinan pejabat Polmas dan tetap tidak mau bergabung dengan Mamasa, melawan para pendukung pro Mamasa yang tetap pada pendiriannya kalau ATM itu merupakan wilayah Mamasa berdasarkan pada Kewedanaan di zaman Belanda. Sebab pada zaman Pemerintahan Belanda, ATM masuk dalam Kewedanaan Mamasa. Oleh karena itu, konflik yang terjadi hingga saat ini adalah konflik antara PUS melawan Kewedanaan Mamasa dalam babak baru.

The spirit of reform and the existence of Law No. 22/1999 on Local Government, tranferring the most function of central government to the district or municipal government, will bring consequences. One of those is related to the effort of the expansion of region (pemekaran wilayah) in the various regions. This becomes an opportunity for those regions to stand on autonomously. Similarly, the demand for the expansion of region in the Polewali Mamasa Regency also actually arise for the insistence of the community figures in ex Mamasa District (eks Kewedanaan Mamasa) with their think tank and the support of all people in both the ex district and the foreign regions. The role of central government is remarkable in causing the conflicts occured in ATM areas because it is not sensitive and not able to accommodate the interests and aspirations of the local society as stated in Matakali Agreement. The conflicts arise as the result of influences and lobbies undertaken excessively by the national elites, which originate from Mandar ethnic and have been appointed as members of the People’s Representative Council (DPR). It occur because in South Sulawesi Mandar ethnic actually have never hold the important and strategic occupations both in bureaucracy and the constellation of the local politics in South Sulawesi. Mamasa Regency is the main key of success in establishing the Province of West Sulawesi that formerly is a part of the Province of South Sulawesi. The policy of the expansion of region in Mamasa Regency, which now is really independent from the parent regency (Polmas), is based on Law No. 11/ 2002 on the establishment of Mamasa Regency and Palopo City of the Province of South Sulawesi. In this research, writer uses a method relating ideality and reality worlds. The meaning of reality will be interpreted by applying the descriptive-qualitative method. The establishment of Mamasa Regency instead causes the ethnicity-based conflicts in ATM areas, which at the early establishment the regency indeed have refuted to join Mamasa Regency. These conflicts have become too complicated because the most dominant elites tend to play politically by mobilizing the masses and generating the primordial sensitivity. In fact, such sensitivity has emerged and obsessed the consciousness of the conflicting societies since the sixteen-century from generation to generation till now both before and after the expansion of region of Mamasa Regency is done. In addition, there was the real difference of identity, that is, the cultural difference. The essence of the conflicts is the struggle of power in occupying the lands in ATM areas (the natural and economic sources) because the land is the pride of the agrarian society. Then the establishment of Mamasa Regency make the boundaries of the land in those areas unclear and cause the losing of the bargaining positions in the conflict resolution in ATM areas. It occur because the land boundaries and the territory of the pro-and-contra communities have mixed up since Bambang people (Mamasa ethnic) have ruled dominantly after the rebellion of DI/TII led by Kahar Muzakar and the arrival of 7-10 Army Batalion. The ethnicity-based conflicts that aroused in ATM areas are essentially not the SARA conflicts but ones as the results of the struggle of the power territory between the supporters of Hadat PUS that recognize the leadership of the officials of Polmas Regency and do not want to join Mamasa Regency and the supporters of Mamasa Regency that actually still insist that the ATM areas are the territories of Mamasa based on the district (Kewedanaan) at the colonial periode of Dutch Government. It is because at the period, ATM areas are included into Mamasa District. Therefore, the current conflicts in these areas are essentially the conflicts between Hadat PUS and the district (Kewedanaan) at the new stage.

Kata Kunci : Pemekaran Wilayah,Konflik Etnisitas, the expansion of region (pemekaran wilayah), primordialism, culture, the ethnicity-based conflict, agreement