Kebijakan reformasi internal TNI (1998-2004) :: STudi tentang evaluasi reformasi internal TNI dan implikasinya terhadap fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan demokratisasi

SUNARYADI, Dr. Muhadjir Darwin

2005 | Tesis | Magister Administrasi Publik

Mewujudkan TNI menjadi militer yang professional merupakan salah satu agenda terpenting dari perjuangan gerakan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998. Reformasi yang yang sedang dan hendak terus dilaksanakan di Indonesia menghendaki agar TNI mengakhiri peran Dwifungsinya, yaitu peran sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus kekuatan sosial-politik. Selama pemerintahan Orde Baru peran Dwifungsi ABRI telah menghasilkan pemerintahan otoriter yang didominasi militer. Amanat reformasi menghendaki terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menempatkan militer murni sebagai alat pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil, dengan skope dan wewenang yang terbatas serta fungsinya diatur oleh undang-undang. Penelitian evaluasi enam tahun reformasi TNI (1998-2004) ini bertujuan untuk melihat sejauh mana dinamika reformasi yang telah berjalan selama ini, baik yang dilaksanakan pada tataran umum maupun yang dilakukan sendiri oleh TNI, di dalam rangka mendukung terwujudnya TNI yang professional. Dengan menggunakan pendekatan studi kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuatan kebijakan publik dalam meningkatkan peran pertahanan TNI, mewujudkan hubungan sipil-militer yang proporsional, dan penegakkan supremasi sipil yang lebih tepat dan lestari. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan, studi kepustakaan, pengamatan lapangan dan wawancara. Sedangkan yang menjadi obyek penelitian antara lain para perwira di lingkungan institusi TNI, Dephan dan para cendekia pengamat TNI baik dari kalangan sipil maupun militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya TNI untuk melakukan reformasi, yang meliputi reformasi Doktrin, Struktur, Kultur dan penerapan fungsi Teritorial TNI selama enam tahun terakhir belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, kecuali telah dicabutnya dwifungsi ABRI, sehingga keterlibatan TNI dalam politik praktis terbatas pada keberadaannya di DPR hingga Pemilu 2004. Reformasi untuk mengubah TNI menjadi professional seperti yang didambakan, tampaknya selain belum dapat dilaksanakan secara optimal juga kurang menyentuh hal-hal yang bersifat substantif. Beberapa perubahan yang telah diterapkan lebih dilakukan secara parsial dan tambal sulam, dengan tidak didasari suatu konsep, tujuan dan strategi pembaharuan yang jelas. Dengan demikian dapat dikatakan, hingga sekarang ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (pemerintah) belum memiliki grand design dan grand strategy reformasi TNI, yang dapat memberikan landasan serta arah yang jelas mengenai “mengapa” dan “bagaimana” reformasi dilakukan, maupun visi tentang bentuk ideal TNI yang akan dibangun, kepastian rentang waktu berapa lama wujud tersebut dapat dicapai, serta apa saja prasyarat yang harus dipenuhi agar visi tersebut dapat diwujudkan. Mengingat masalah reformasi militer (TNI) merupakan masalah keseluruhan bangsa, maka penelitian ini menyarankan agar perencanaan dan pelaksanan reformasi TNI seharusnya tidak hanya diserahkan kepada TNI semata, tetapi hendaknya didukung oleh para pemimpin politik, baik yang berada di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mengingat betapa besarnya dampak dari peranan militer terhadap sistem politik suatu negara, maka penataan kembali kehidupan militer harus seiring-sejalan dengan upaya konsolidasi demokrasi di ruang politik. Sembilan (9) Agenda reformasi TNI yang telah dicanangkan, harus didasari dan dibingkai oleh visi dan misi negara yang jelas dalam bidang ini serta dipandu oleh peraturan perundang-undangan yang memadai.

One of the most important agenda to come from the reformation movement, which came into existence in 1998, has been the realization of military professionalism within TNI (the Indonesian National Military). This process began with the ending of the Dual-Function role of TNI, which is of a strong defense force as well as a powerful social-political force, and is still in the process of implementation. Under the New Order regime the Dual-Function role of the army facilitated an authoritarian government dominated by the military. The reformation movements message is has been to create a democratic system of government which aims at a high regard for human rights and a military which functions purely as a national defense force bowing to civil supremacy, with its scope and power limited and its functions regulated by national law. The aim of this research and evaluation into the six years of reformation within TNI (1998-2004) is to see just how far the dynamics of reformation have gone, both in public view and within TNI itself. Through the use of appropriate study, it is hoped this research will be able to provide additional thoughts to the making of public policy in developing the role of TNI as a defense force, in the realization of a proportional military-civil relationship and the enforcement and continuation of the supremacy of he civil realm. A qualitative research methodology was used and data compilation was achieved through library research, field work and interviews. Another area of research in this paper is the concept of a hero in the environment of the TNI institution, the Defense Department, TNI intellectual advisors as well as in the general civil and military arenas. The results of this research indicate that while TNI has been undertaking reformation, involving the reformation of its doctrine, structure, culture and the development of Territorial TNI functions over the last six years, the results of these efforts are not particularly reassuring. Except, of course, for the end to the Dual-Function role of the army and the limited involvement in the House of Representatives (DPR) during the political practice of the 2004 election. One reason the hoped for professional reformation of TNI has yet to be optimally implemented is that the reformation fails to touch on enough substantive areas. Some changes that have already been undertaken have been implemented only partially or as a ‘band-aid’ measure not based on any clear concept, aim or rehabilitative strategy. It can be said that at present the National Unity Republic of Indonesia (NKRI) have yet to formalize a grand design or grand strategy for the reformation of TNI, which would provide a basic foundation for the ‘why’ and ‘how’ this reformation should be carried out. This foundation would also provide the vision for the ideal TNI that is to be developed, a concrete time frame in which these developments are supposed to occur and the conditions that have to be met in order for reformation to be realized. Remembering that military reformation constitutes a problem for all members of society, this paper holds the position that the planning and implementation of TNI reformation should not be left to the TNI themselves, but supported by political leaders both executive and legislative. Considering the massive effect the role of the military can have on a political system of a country, the reconstruction of the military must coincide with efforts to consolidate democracy in the political arena. The nine agendas of TNI reformation which have already been undertaken must be based on and formed by a national vision and mission which is clear and is guided by relative rules and constitutional laws.

Kata Kunci : Kebijakan TNI,Reformasi Internal,Fungsi TNI, Democratization, TNI Reformation and National Defense