Pangkat dan jabatan :: Studi birokrasi di Yogyakarta
SUPARJIMAN, Dr. Pujo Semedi H.Y., MA
2005 | Tesis | S2 AntropologiBirokrasi muncul seiiring dengan perkembangan masyarakat dengan masalah administrasi yang semakin kompleks sehingga mengharuskan dilaku-kannya pembagian kerja yang jelas. Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintahan sipil maupun militer dalam suatu sistem pemerintahan yang menja-lankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi. Birokrasi pemerintah pada hakikatnya secara pokok berfungsi mengatur dan melayani masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, birokrasi juga dipahami sebagai suatu sistem organisasi sosial. Dengan demikian, birokrasi bagi birokrat merupakan ruang sosial di mana mereka berinteraksi dan melakukan aktivitas-aktivitas sosialnya denganberbagai implikasinya. Birokrasi pemerintah menempatkan akhir pengembangan karier jabatan seorang pegawai (birokrat) lebih ditekankan pada hirarkhi atas. Semua pegawai pemerintah (birokrat) jika promosi jabatan selalu harapannya naik ke posisi yang lebih atas, sehingga terminal pengembangan karier terletak di hirarkhi tersebut. Hal ini terbiasa karena birokrasi di Indonesia terbiasa hanya mengenal satu jabatan struktural saja. Sesuai dengan hirakhi jabatan struktural tersebut, maka hirarkhi yang di atas menunjukkan posisi tertinggi sehingga semua orang menginginkan posisi tersebut. Dengan demikian, sebagian besar pegawai meng-inginkan jabatan, sedang jumlah jabatan yang tersedia dalam birokrasi sangat sedikit sehingga sering timbul permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut. Jika ada jabatan kosong, posisi itu pasti diperebutkan oleh sebagian besar birokrat. Struktur birokrasi di Yogykarta secara umum tidak berbeda dengan yang ada di tempat-tempat lain di Indonesia, karena semuanya memang dirancang secara nasional berdasarkan tingkatan pemerintahan dimana birokrasi itu bero-perasi. Struktur organisasi aturan-aturan tentang kepegawaian, sistem penggajian serta kualifikasi dan syarat-syarat rekruitmen pegawai untuk mengisi struktur itu, semuanya telah diatur secara nasional. Perbedaan yang terjadi mungkin lebih banyak berkisar pada cara yang ditempuh oleh masing-masing daerah dalam mengisi dan memberi makna pada struktur, seperti penempatan seseorang dalam jabatan, intensitas pengaruh pribadi terhadap proses rekruitmen, dan ikatan emosional yang yang menyatukan seorang birokrat dengan jabatan yang dipang-kunya serta persepsi birokrat terhadap pangkat maupun jabatan tersebut. Dari sudut ini pun tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa birokrasi di Yogyakarta secara definitif berbeda dengan birokrasi daerah lain. Birokrasi pemerintahan di Yogyakarta masih dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural Jawa. Nilai-nilai itu mendasari birokrat dalam bertindak dan merespon lingkungannya. Pandangan tentang pangkat dan jabatan sangat dipengaruhi oleh faham tentang kekuasaan maupun prestise. Pandangan atau persepsi yang terkait dengan pemaknaan tentang kekuasaan serta prestise melahirkan strategi-strategi untuk memperoleh apa yang diinginkan. Dalam meraih pangkat dan jabatan, seo-rang birokrat berusaha dengan segala acara. Cara-cara tersebut yakni dengan mencari muka (ngolor), mencari dukun, dan membentuk jaringan-jaringan sosial dengan menfaatkan hubungan-hubungan sosial yang ada. Dalam perspektif ini, budaya lokal berpengaruh negatif terhadap birokrasi, karena hal tersebut cenderung mengesampingkan rasionalitas dan produktivitas. Namun, dari sisi positif hal tersebut menguntungkan organisasi. Sikap dan perilaku yang dipe-ngaruhi nilai-nilai kultural tersebut dapat dimanfaatkan untuk membina pengaruh sehingga efektifitas kepemimpinan atasan dapat dipelihara.
The bureaucracy of government places the final carrier position for the officials (bureaucrats) if the position promotion is hopped to get the upper position, so the carrier advencement terminal is located in the hierarchy. This is so because bureaucracy in Indonesia just only knows one structural position. Based on the structural position hierarchy, the top hierarchy indicates the top position so all people want to get it. While the number of strategic position is limited. This commonly raises the problem relating to that position. If there is vacant position, it must attract many people to place it. The structure of bureaucracy in Yogyakarta is generally not different from the other cities in Indonesia because all of them are designed nationality according to the levelof government where the bureaucracy operates. The difference is on the way the every region does in filling up and giving the meaning of the structure such as the placement of employee in position, the intencity of personal influence on the recruitment process, and emotional relation that intergrates an official with the owned position and the perception of bureaucrat on the rank or the position. From this pont, it’s difficult to say that the bureaucracy in Yogyakarta is definitively deferent from the other bureaucracies. The bureaucracy of Yogyakarta government is still influenced by the Javanese cultural values. These values underscore the bureaucracy in taking action and response the environment. The perspective on rank and position is very influenced by the view of power or prestige. The view or percepciton on the meaning of power and prestige bring about the strategies to get what he/she wants. In attaining the rank or position, she/he tries all out in any way. The way such as the attitude of “face showâ€, going to magician, fortuneteller, and make the social network. In this perspective, the local culture has negative influence on bureaucracy because it tens to take aside rationality and productivity. However, from the positive side, this gives benefit for organization. The attitude and behavior that are influenced by cultural values can be used to build the influence so that the effectiveness of top leadership can be maintained.
Kata Kunci : Birokrat,Persepsi,Pangkat dan Jabatan