Penanganan pengungsi di Kalimantan Barat :: Studi kasus tentang penanggulangan pengungsi etnis Madura [Internally Displaced Person] Korban kerusuhan sosial Sambas di Kalimantan Barat

SUJAIE, Hardi, Prof.Dr. Agus Dwiyanto, MPA

2004 | Tesis | S2 Kependudukan

Jatuhnya kekuasaan suharto dan peralihan kekuasaan dari pusat kedaerah telah menimbulkan berbagai gejolak di dalam masyarakat. Salah satu gejolak tersebut adalah terjadi konflik social di beberapa daerah di Indonesia yang mengakibatkan munculnya arus pengungsi lebih dari satu juta orang. Di Kalimantan Barat, persoalan pengungsi terbesar dimulai pada awal tahun 1999, ketika terjadi konlik horizontal antara kelompok etnis Melayu dan kelompok etnis Madura di Kabupaten Sambas. Konflik ini mengakibatkan seluruh etnis madura terusir dari Kabupaten Sambas dan menjadikan mereka sebagai pengungsi internal(IDP) di berbagai tempat di Kalimantan Barat dan Luar Kalbar(khususnya Jawa Timur). Maksud dari studi ini adalah untuk mendapatkan penjelasan mengenai; factor-faktor yang menyebabkan masyarakat Melayu di Kabupaten Sambas menolak program rekonsiliasi, factor-faktor yang menyebabkan munculnya penolakan pengungsi terhadap program relokasi pengungsi, Faktor-factor yang menyebabkan sebagian besar pengungsi menerima program pemberdayaan, Serta apa saja dampak dari program Pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah dan bagaimanakah strategi bertahan hidup pengungsi?. Hasil dari studi ini adalah; factor utama penolakan masyarakat Melayu Sambas terhadap program rekonsiliasi karena tidak ada pihak yang bisa menjamin keselamatan orang Madura yang berkunjung atau pulang ke Kabupaten Sambas. Disisi lain, penolakan pengungsi terhadap program relokasi disebabkan sarana dan prasarana tempat relokasi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Akibat dari penolakan tersebut, akhirnya pemerintah provinsi mengeluarkan kebijakan baru berupa Program pemberdayaan yang hanya memberikan dua pilihan kepada pengungsi, yaitu; kompensasi 5 juta Rupiah bagi yang meninggalkan barak penampungan dan 2 Juta Rupiah bagi yang bersedia pindah ke tempat Relokasi. Hasilnya sebagian besar pengungsi memilih program pemberdayaan dengan kompensasi sebesar 5 Juta Rupiah. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa dampak langsung dari program pemberdayaan ini adalah; munculnya kasus penyerobotan tanah penduduk sekitar kota pontianak untuk garapan dan pemukiman sebagian pengungsi. Selain itu, usaha sector informal dan kawasan pemukiman kumuh semakin berkembang. Menurut peneliti, apabila dampak dari program relokasi dan Pemberdayaan ini tidak dikelola pemerintah dengan baik, maka akan menjadi “ bom waktu “ bagi munculnya konflik baru di Kalbar pada masa yang akan datang.

Falling down of Soeharto regime and transferring of government from central to region had brought about various chaos in the community. One of those turbulences is the happen of social conflicts in some areas of Indonesia resulting appearance of refugees flows more than one million persons. In West Kalimantan, problems of the biggest refugees began in the beginning of 1999, when a horizontal conflict between a group of Malay ethnic and a group of Maduranese ethnic in Sambas Regency was broken. The conflict resulted all of Maduranese ethnic were driven out of Sambas Regency and made them as internal refugees (IDP) in some areas of West Kalimantan and outside of West Kalimantan (especially East Java). Aims of the present study is to get some explanations about: factors making the Malay community in Sambas Regency refused a reconciliation program, factors causing the appearance of rejection from the refugees to the program of relocation for them, factors causing most of the refugees can accept the program of making them in efficient uses, and whatever impacts of program in making efficient uses implemented by the government and how the strategy will be last for the refugees lives? Results of the study are; the main factor of rejection done by the Sambas Malay community to the reconciliation program is that no part can ensure the safety of Maduranese who visiting or coming back to Sambas Regency. In other part, the rejection of the refugees on relocation program resulted from infrastructures in the relocation area are not suitable for their wishes. As consequences of the refutation, finally the provincial government issued a new policy in the form of Program of making efficient uses that merely gave two choices for the refugees, that is, compensation of 5 millions Rupiah for them who leave the places which taken in refugees and 2 millions Rupiah for them who are willing to move on to relocation. For the result, most of the refugees chose the program of making efficient use by accepting the compensation of 5 millions Rupiah. Results of the study demonstrated that the direct impact of the program is the appearance of cases of illegal occupancies in the lands owned by people around Pontianak city that being used as farmlands and settlement for the most of the refugees. In addition, informal sector business and slum areas are growing. In opinion of the author, if the impacts of relocation program and making efficient uses are not managed well by the government, then they will be a `time boom" for raising new conflicts in West Kalimantan for the coming years.

Kata Kunci : Pengungsi,Konflik Antar Etnis