Laporkan Masalah

Perkebunan tebu dan perubahan sosial di Keresidenan Surabaya, 1890-1937

WAHYUDI, Sarjana Sigit, Promotor Prof.Dr. H. taufik Abdullah, MA

2005 | Disertasi | S3 Ilmu Budaya

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah tentang Perkebunan Tebu dan Masyarakat Desa: Perubahan Sosial di Keresidenan Surabaya, 1890-1937. Tulisan ini sangat penting karena dapat menambah literatur mengenai masalah perkebunan terutama tebu, dan dampaknya terhadap masyarakat petani yang mengakibatkan perubahan sosial. Lingkup spasial, dipilihnya Keresidenan Surabaya karena wilayah ini sebagai tempat perkebunan tebu dan pabrik gula yang terbesar di Jawa, sehingga dampaknya terhadap perubahan sosial masyarakat di sekitarnya sangat luas. Akibat dari perubahan sosial itu menyebabkan perlawanan petani di distrik Gedangan Afdeling Sidoarjo. Pemberontakan ini sangat unik karena tidak terjadi di daerah perkebunan tebu yang lain. Lingkup temporal penelitian ini antara tahun 1890-1937, dengan pertimbangan bahwa sejak saat itu terjadi ekspansi perkebunan tebu di Keresidenan Surabaya telah dihantam oleh badai krisis gula akhir tahun 1880-an. Sementara tahun 1937 sebagai akhir penelitian, bahwa perkebunan tebu telah mampu melakukan recovery (pemulihan) setelah menghadapi krisis malaise di Hindia Belanda tahun 1930-an. Hadirnya perkebunan tebu dan pabrik gula membutuhkan perluasan lahan dan tenaga kerja yang murah. Hal itu akan mempengaruhi kehidupan petani, karena mereka harus menyerahkan sebagian tanah kepada perkebunan sehingga petani mengalami kerugian. Perubahan yang terjadi adalah merosotnya status gogol menjadi kuli dan monetesisasi uang masuk ke pedesaan, namun petani justru tidak bisa menggunakan uang tersebut secara benar, karena petani menjadi konsumtif. Akibatnya terjadi pemborosan karena mereka terlibat hutang yang membawa penderitaan sebagian besar petani. Perubahan sosial di daerah itu membawa konflik antara petani untuk menentang pemerintah kolonial yang mendukung perkebunan tebu dan pabrik gula. Pemberontakan Kiai Kasan Moekmin terjadi tidak hanya disebabkan oleh masalah religius, melainkan juga oleh tekanan ekonomi yang sangat keras di daerah itu. Petani berani mengadakan pemberontakan karena mendapat dukungan dari pejabat tradisional maupun Eropa. Eksploitasi perkebunan tebu biasanya membawa dampak sosial yang kurang baik terhadap masyarakat di sekitarnya, walau pun demikian tidak sampai memicu konflik yang bersifat kekerasan. Biasanya hanya terjadi perlawanan secara terselubung, seperti pencurian tebu dan pembakaran kebun tebu. Terjadinya pemberontakan Kiai Kasan Moekmin karena adanya keresahan di tingkat bawah (grass-root), ada kepemimpinan dan ada konflik antara elite kekuasaan yang membawa linkage ke tingkat grass-root tersebut. Dalam kasus Kiai Kasan Moekmin, ada unsur pejabat lokal yang memiliki hubungan khusus dengannya untuk mengobarkan pemberontakan. Pemberontakan Kiai Kasan Moekmin merupakan bentuk konflik sosial yang tidak hanya terjadi antara petani dengan penguasa, tetapi juga terjadi antara elite, yaitu Bupati Sidoarjo R.A.P. Condronegoro dengan Wedono Bulang R. Djojo Adiningrat. Berawal dari kejadian ini, maka pemerintah Hindia Belanda segera mengambil berbagai kebijakan, seperti: pembenahan sarana dan prasarana transportasi, irigasi, kesehatan, dan pendidikan untuk kesejahteraan penduduk. Sementara itu gerakan melawan kapitalis perkebunan tebu yang berupa pembakaran dan pencurian tebu di kawasan Jawa Timur, termasuk karesidenan Surabaya masih terus berlangsung. Gerakan perlawanan terhadap kapitalis perkebunan dan pemerintah kolonial Belanda mulai teroganisir, melalui organisasi modern, seperti SI, PKI, dan PNI. Berbagai organisasi itu melakukan kegiatan politiknya untuk memperjuangkan hak-hak buruh dan petani. Mulai tahun 1916 berbagai gerakan organisasi politik ini mulai bersifat radikal. Hingga masa krisis malaise berbagai organisasi itu masih tetap eksis, meskipun para pemimpinnya banyak yang dimasukkan dalam penjara.

This research is a historical research about Sugar cane Plantation and Rural Society: Social Changes in Surabaya Residence, 1890-1937. This writing is very essential since it can enrich literature about peasants which result in social changes. Geographic ally Surabaya Residence was chosen because this area was the largest sugarcane plantation and sugarcane factory in Java, so that its impact on the social changes in the neighborhood is very large. The effect of social changes is the peasants' uprising brakes out at Gedangan Afdeling Sidoarjo. This uprising is unique since it doesn’t happen in other areas. In temporary scope, this research is limited 1890- 1937, considering that since then the expansion of sugar cane plantation in Surabaya Residence was hit a sugar crisis at the end of 1880s. While in 1937 as a period of the research, the sugarcane plantation was able to recover after confronting malaise crisis in Netherlands Indies in 1930s. The existence of sugarcane plantation and sugar factory needs land expansion and cheap laborers. This will influence the peasants’ life since they have to submit some parts of their land to the plantation so they will suffer loss. What happens is the decline of gogol status into kuli and money economy enters the rural areas. Nevertheless, the peasants cannot use the money correctly since the peasants become consumtive. Accordingly, they become extravagant since they are trapped in debt and result in suffering for most of the peasants. The social changes in that region cause conflicts between the peasants who are against the colonial who support the sugarcane plantation and the sugar factory. The Kiai Kasan Moekmin’s uprising is not only cause by religious problems but also by hard economic pressure in that region. The peasants are quite bold to rebel because they are supported by both the traditional and European officials. The exploitation of sugar plantation usually gives negative social impact to the people surrounding; however, such impact does not trigger a violent conflict. Usually the conflict is under covered, such as sugarcane theft and sugarcane plantation arson. Kiai Kasan Moekmin’s uprising is due to the grass root’s unrest, conflict between high ranking officials bringing linkage to the grass root level. In Kiai Kasan Moekmin’s case, there is a local official who has a special link with him to provoke the rebellion. Kiai Kasan Moekmin’s uprising is a form of social conflict which not only happens between peasants and officials, but also between elites, namely Sidoarjo Regent, R.A.P. Condro Negoro and Bulang Sub-regent, R. Djojo Adiningrat. Starting from this event, the Netherlands Indies immediately take various policies, such as improvement of transportation, irrigation, health, and education for the people’s prosperity. Meanwhile, a movement against sugarcane plantation capitalists in the forms of sugarcane arson and theft in East Java region, including Surabaya sub-regency was still taking place. Movement against plantation capitalists and the Dutch colonial government started to be organized through modem organizations, such as SI, PKI and PNI. Those organizations made their political activities to fight for the laborer and the peasant's rights. These various political movements started to be radical in 1916. Those various organizations still existed up to malaise even though many of their leaders went to jail.

Kata Kunci : Sejarah Indonesia, Karesidenan Surabaya 1890,1937, Perkebunan Tebu dan Perubahan Sosial


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.