Redefinisi eksistensi perempuan migran :: Kasus migran kembali di Godong, Grobogan, Jawa Tengah
ASTUTI, Tri Marhaeni Pudji, Promotor Prof.Dr. Sjafri Sairin, MA
2005 | Disertasi | S3 Ilmu HumanioraPenelitian tentang migrasi perempuan sebagai TKW dengan fokus hukum, ekonomi, dan pelecehan TKW, sudah sering dilakukan. Laporanlaporan yang berbentuk reportase di media yang berkaitan dengan hal itu pun juga sudah sering dilakukan. Namun, penelitian tentang bagaimana perempuan memutuskan untuk bermigrasi sebagai TKW, apa yang dirasakan dan pergeseran-pergeseran peran mereka di dalam rumah tangga dan masyarakat, belum dilakukan. Migrasi yang dilakukan perempuan sampai jauh ke luar negeri, menyebabkan terbentuknya pengalaman baru bagi kaum perempuan, sehingga mereka menjadi ‘sosok yang lain’ yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap redefinisi (pemaknaan kembali) eksistensi (keberadaan) perempuan migran yang meliputi konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi, yang akhirnya melahirkan rekonseptualisasi, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Untuk itu pemahaman yang komprehensif tentang sosok perempuan migran dan perubahan hubungan gender terkait dengan perubahan status perempuan sebagai pencari nafkah, menjadi jelas karena pengalaman dan suara perempuan menjadi sumber utama. Wilayah penelitian adalah Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, Malaysia, dan Singapura; dengan fokus penelitian di Godong. Pengambilan data berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dan terputus-putus, karena ingin memeroleh data yang komprehensif terkait dengan kepulangan TKW ke desa asal. Pengambilan data dimulai sejak bulan Desember 1999 sampai dengan bulan Juni 2003. Subyek penelitian adalah perempuan migran atau yang pernah bekerja di luar negeri, keluarga migran (suami, anak, orangtua) dan aktor dalam jaringan migrasi. Pendekatan gender antropologi dan psikologi humanistik, dengan metodologi kualitatif model etnografi digunakan untuk menganalisis data sehingga dapat diungkap maknamakna dan simbol-simbol yang berkaitan dengan migrasi dan perubahan sosial budaya dalam kehidupan perempuan migran. Temuan terpenting adalah bahwa meningkatnya pendapatan perempuan sebagi TKW dan sebagai pencari nafkah ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya posisi tawar-menawar mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat, karena penghargaan sosial yang diberikan adalah penghargaan sosial semu. Pola adaptasi yang dilakukan suami migran juga merupakan pola adaptasi semu. Selain itu, ternyata migrasi perempuan ke luar negeri juga mengakibatkan berubahnya hubungan gender dalam perkawinan dan terjadinya evaluasi hubungan antara migran dan orangtua, migran dengan anak, dan migran dengan suami. Berbagai bentuk evaluasi hubungan tersebut dapat dilihat dalam beberapa kasus tentang ke-permissive-an (sikap serba memperbolehkan) berbagai bentuk perubahan nilai, perilaku, dan sikap, baik dalam hubungan dengan suami, orangtua dan anak yang ditinggalkan. Evaluasi hubungan yang mendasar juga terjadi di antara migran sebagai anak (perempuan), yang ternyata telah bisa ‘menguasai’ siklus hidup orang tuanya. Beberapa redefinisi konsep sosial tentang laki-laki sebagi pencari nafkah, nilai anak perempuan, dan kehidupan perkawinan juga terjadi seiring dengan maraknya migrasi. Konstruksi nilai dan konsep yang selama ini selalu ‘hanya dilakukan dan hanya boleh’ untuk laki-laki, dalam penelitian ini mulai didekonstruksi, bahwa tidak hanya laki-laki saja yang biasa dan boleh melakukannya tetapi perempuan juga bisa dan biasa. Salah satu contoh adalah tentang kasus judi, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, akan tetapi di Godong, hampir semua perempuan (ibu-ibu, nenek migran) melakukan judi sambil mengasuh cucunya. Melemahnya ikatan tradisi dan terputusnya mata rantai antargenerasi juga menjadi temuan menarik. Berkaitan dengan remitan yang dikirim, ternyata tidak hanya bermanfaat secara ekonomi, tetapi juga sangat potensial menimbulkan konflik antarkeluarga besar migran. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa ternyata hampir semua migran perempuan belum menyadari eksistensi dirinya, baik sosoknya sebagai perempuan maupun sebagai pekerja (buruh migran). Mereka merasa liminal, mereka merasa ‘tidak berada di sini juga tidak berada di sana’. Hal ini menunjukkan bahwa representasi identitas mereka juga ikut liminal, oleh karena itu dalam melakukan redefinisi eksistensinya banyak yang masih merasa ‘gamang’. Representasi identitas dengan menampilkan pola hidup, gaya hidup, juga pemakaian benda-benda dari luar negeri, di desa asal juga menjadi tanda penting dari liminalitas dan perubahan sosial budaya dalam kehidupan perempuan migran. Untuk itu, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan diri perempuan migran oleh mereka sendiri, melalui suatu bentuk penyadaran berbagai hal dalam kehidupan berkaitan dengan peran gender dan kodrat, serta hak dan kewajiban sebagai pekerja. Bentuk penyadaran ini tidak melalui teori yang muluk-muluk dan disampaikan secara text book, melainkan bisa dikemas dalam cerita yang menarik melalui media yang menarik pula, seperti komik, karikatur, atau naskah sandiwara dan perempuan migran diajak bermain peran.
Research on female migrant workers focusing on law, economy, and sexual harassment has been substantially conducted. Reports in the form of media reportage dealing with this issue have been widely exposed. Yet, research on what underlie their decision to be migrant workers, how they feel about it, and their shifting roles in their households and community has not been done so far. Their working overseas has created new experience for them, and it has changed them to be ‘somebody else’ totally unlike they used to be. Based on this pervading fact, this study was aimed at revealing, redefining the existence of female migrant workers in the form of constructing, deconstructing and reconstructing, which finally will result in reconceptualization, both at individual and societal levels enabling a clear, comprehensive understanding about female migrant workers, as well as inter- gender shifting relation in line with their changed status as bread-winners by using their experiences and points of view as the main sources. The study was conducted in Sub- District Godong of Grobogan Regency in Central Java as the focus, Malaysia and Singapore within an intermittently long period of time with the intention of gathering comprehensive data in relation to their homecoming. Data collection commenced in December 1999 and lasted in June 2003. The subjects of the study were femaleworking migrants or ex migrant workers, their family members (husbands, children and parents) and actors of migration networks. Gender Anthropology and Psychology Humanistic approach with qualitative method etnografi model, used to analysed data, until can be uncover migration- related meanings and symbols and socio-cultural changes in migrant women’s experience. The most salient finding of the study suggests that the income increase and the status as breadwinners did not correspond with their strengthened bargaining position within their household and society, due to the pseudo social reward they gain. The spouse adaptation pattern is that of a pseudo one as well. In addition, their working overseas has resulted in changes of inter-gender marital relation and relational evaluation between migrantparent, migrant- descendant, and migrant- spouse. The relational evaluation can be seen in som e cases of permissiveness in the form of changed values, behaviours, and attitudes towards their left spouses, parents and children. Basic relational evaluation also takes place among migrant workers and their parents because as daughters they have proven themselves to be able to ‘control’ their parents’ life-cycles. Some redefinition of social concepts of males as breadwinners, the value of daughters, and marital life have evolded in line with the migration. The existing construction of values and concepts that always say ‘done and for man only’ have started to undergo deconstruction, allowing females to do what used to be done by their counterparts. The study found out that in Godong, almost all women (migrant mothers and grandmothers), while taking care of their grandchildren, took part in gambling, an activity done only by men in the past. The weakening traditional bound and inter- generation missing - link are of interesting findings to note.The sent remittance not only was economically beneficial but also a very potential cause of migrant’s interfamily members conflicts. More interestingly to note here, almost all migrant workers proved to be unaware of their existence both as females and workers. They felt to be limen, and ‘out of nowhere’. This means that their identity representation is also limen, resulting in their ‘nervousness’ due to their inability to redefine their existence. The identity representation in the form of exhibiting foreign life-style and way of life, wearing imported articles back home serve as distinctive signs of their liminality and their socio-cultural changes in the life of migrant workers. Consequently, one of the solutions to do is by self- empowering female migrant workers, by means of making them aware of a lot of matters dealing with their gender roles and destiny. They should be made aware that gender and destiny are of two different things. This can be done not by means of complicated theoretical constructs in text-books, but in the form of interestingly packaged stories in inviting media like comics, carricaturs, or plays in which migrant workers may take part.
Kata Kunci : Migrasi,Eksistensi Perempuan Migran,TKW