Penentuan keadaan insolvensi dalam proses kepailitan menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan
HUTAGALUNG, Sahat M, Prof. Emmy Pangaribuan, SH
2004 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya komentar beberapa ahli hukum dan bisnis yang mengatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mempunyai kelemahan mendasar karena tidak mempertimbangkan keadaan ketidakmampuan membayar utang (insolvensi) sebagai salah satu syarat bagi debitor agar dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kasus kepailitan PT. Modernland Realty dan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dapat dijadikan contoh mengenai hal ini. Oleh karenanya, penelitian ini akan mencari jawaban atas permasalahan penentuan suatu keadaan insolvensi dalam proses kepailitan dan apakah penentuan keadaan insolvensi tersebut dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang lebih banyak mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan menggunakan studi dokumen. Selain itu, data sekunder juga didukung oleh data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan dengan mengunakan pedoman wawancara. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dianalisis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, menurut Undang-Undang Kepailitan, suatu keadaan insolvensi baru ditentukan pada proses kepailitan setelah proses pemeriksaan permohonan kepailitan di pe rsidangan selesai dilakukan yaitu pada saat rapat pencocokan utang. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 168 ayat (1). Sementara itu, dalam proses persidangan perm ohonan kepailitan di pengadilan, debitor telah dapat dinyatakan pailit lewat putusan penga dilan apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 6 ayat (3). Tidak dipersoalkan apakah debitor masih solven atau insolven. Namun demikian, hal ini tidak berarti suatu keadaan insolvensi tidak dipertimbangkan sebagai salah satu syarat ba gi debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Keadaan insolvensi sebenarnya secara tidak langsung telah ikut juga dipertimbangkan dalam hal ini melalui mekanisme pembuktian sederhana (Pasal 6 ayat (3) UUK). Dengan mekanisme pembuktian sederhana, maka putusan pailit hanya dapat dikenakan bagi debitor yang tidak mampu membayar utang (insolven) dan tidak dapat diterapkan bagi debitor yang masih mampu membayar (solven) tetapi tidak mau membayar utang. Penentuan keadaan insolvensi menurut Undang-Undang Kepailitan dapat memberi perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor asalkan pelaksanaannya didasarkan itikad baik kreditor maupun debitor.
This research was based on comments from law and business experts saying that the Act No. 4/1998 on Bankruptcy has a basic weakness for not considering insolvency as one of the requirements for a debtor to be declared bankrupt by the court. The bankruptcy case of PT Modernland Realty and PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia can be used as an example. Therefore, this research searched for answers to the questions of insolvency state determination in a bankruptcy process and whether the determination of such insolvency state can give equal protection for both creditor and debtor. This research is a juridical normative research, focussing on secondary data from library research by means of document study. However, it is also supported with primary data obtained from field research using interview guideline. These data were then analysed in a qualitative method. The research results show that insolvency state is determined in a bankruptcy process only after the examination process of bankruptcy appeal in the court is finished, that is, in a meeting for debt cross-checking. This is according to the Act of Bankruptcy as regulated in Article 168 item (1). Meanwhile, during the process of trial for a bankruptcy appeal, a debtor may be declared bankrupt through a court decision if it already fulfils the regulation of Article 1 item (1) juncto Article 6 item (3), not matter whether the debtor is solvent or insolvent. It does not mean, however, that an insolvency state is not considered as one of the requirements for a debtor to be declared bankrupt by the court. In fact, insolvency state has indirectly been considered through a simple mechanism of proving (Article 6 item (3) of the Act of Bankruptcy). With this simple mechanism of proving, a decision on bankruptcy can only apply to debtors who are unable to pay their debt (insolvent) and cannot apply to solvent debtors but unwilling to pay their debt. The determination of solvenc y state according to the Act of Bankruptcy can give equal protection for both debtor and creditor as long as its implementation is based on goodwill from both the creditor and debtor.
Kata Kunci : Hukum Kepailitan, UU No4 Tahun 1998, Insolvensi, insolvency and Bankruptcy.