Laporkan Masalah

Kota Pelabuhan Jepara pada awal abad XVIII

DWIYANTO, Djoko, Prof.Dr. Soegijanto Padmo, MSc

2004 | Tesis | S2 Sejarah

Kota Jepara muncul pertama kali dalam kisah sejarah ketika peristiwa pembunuhan terhadap suami dan saudara laki laki Ratu Kalinyamat diceritakan kembali. Sejak peristiwa itu kota ini mengalami pertumbuhan sejalan dengan perjalanan waktu dan dominasi dari pusat-pusat kekuasaan yang silih berganti berkembang di kawasan pulau Jawa bagian tengah. Secara umum pertumbuhan kota ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan dinamika masyarakat sebagai akibat dari bertambahnya penduduk dan kebutuhan lapangan kerja, serta kebutuhan permukiman. Faktor eksternal disebabkan oleh mengalirnya arus urbanisasi dan difusi dari wilayah sekitarnya dalam menggapai peluang kerja dan pengolahan sumber daya. Selain itu faktor eksternal lainnya yang mewarnai dinamika masyarakat kota Jepara adalah hegemoni pihak-pihak yang berkuasa sampai akhimya menyebabkan keruntuhan peran sosial dan ekonomi kota ini.Sepanjang kurun waktu antara abad ke-16 sampai dengan abad ke-18 kota Jepara yang berfungsi sebagai kota pelabuhan telah mengalami empat kali pergantian pusat kekuasaan yang mengatur kota ini. Di dalam proses transformasi dari pengaruh kekuasaan yang satu kepada yang lain, terdapat kecenderungan terjadinya perubahan sosial. Perubahan itu meliputi hubungan sosial antara masyarakat dengan penguasa dan terciptanya golongan sosial bam, terutama disebabkan oleh peran sosial dan ekonomi penguasa sebagai bentukan dari pusat-pusat kekuasaan. Pembahan hubungan sosial itu terjadi karena pergeseran status sosial dan peran penguasa lokal, misalnya yang semula pedagang menjadi priyayi baru yang memiliki kekuasaan sangat luas Para pendatang yang memasuki wilayah ini tidak terbatas pada angkatan kerja, tetapi juga para pedagang besar dan penguasa yang ditugaskan oleh pusat kekuasaan untuk saling berebut keuntungan di kota pelabuhan Jepara. Faktor ini berpeluang terjadinya transformasi sosial atau sekurang-kurangnya menciptakan dinamika sosial masyarakat penghuni kota itu. Berdasarkan atas kajian terhadap keadaan sosial dan ekonomi kota Jepara serta hubungannya dengan pusat-pusat kekuasaan selama abad ke-16 dan ke-18 dapat diketahui bahwa telah terjadi pertentangan-pertentangan di antara pihak-pihak yang melakukan hubungan sosial di kota itu. Secara makro, pada saat berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak, hubungan utara penguasa dengan masyarakat kebanyakan masih cukup harmonis, karena penguasa Jepara masih kerabat dekat penguasa Vll Demak dan lalu-lintas pelabuhan belum begitu padat. Demikian pula ketika pusat kekuasaan berpindah ke pedalaman, terutama di Pajang, Jepara tidak begitu menaruh perhatian terhadap pusat kekuasaan kerajaan, begitu pula sebaliknya. Tetapi, tatkala pusat pemerintahan bergeser ke Mataram, maka pengawasan terhadap kota pelabuhan Jepara sangat intensif. Pada masa itu pusat kekuasaan Mataram sangat menyadari kedudukan dan peran kota pelabuhan Jepara sebagai sumber pendapatan kerajaan yang potensial selain sektor pertanian. Intensitas hubungan sosial itu tampak ketika Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat I (1664-1677). Seperti diketahui pada saat yang bersamaan secara politis maskapai perdagangan VOC telah memasuki wilayah politik pemerintahan, sehingga telah ikut mewarnai hubungan sosial antara pusat kekuasaan dengan daerah sekitarnya, termasuk Jepara. Meskipun dari segi politik Sunan Amangkurat I telah mengakui kedaulatan Belanda di Batavia, tetapi dalam bidang administrasi dan ekonomi memiliki peran yang cukup menonjol. Penentuan kebijakan terhadap pelabuhan, pengangkatan dan penggantian penguasa baik di pusat kerajaan maupun di daerah sering dikaitkan dengan prestasinya di bidang perekonomian. Demikian pula hubungannya dengan kota pelabuhan Jepara tampak intensif, antara lain berupa kebijakan ekonomi pelabuhan yang ditetapkan dan seringnya terjadi pergantian penguasa di kota pelabuhan ini. Di dalam bidang sosial pengangkatan Wiraatmaka, seorang syahbandar besar, adalah sebagai akibat dari pasca kebijakan penutupan pelabuhan di sepanjang pesisir pulau Jawa. Kebijakan itu dinilai tidak efektif, sehingga telah mewarnai dinamika masyarakat kota Jepara antara lain dengan penggantian sistem kekuasaan disertai dengan personelnya. Wiraatmaka yang menguasai hampir seluruh daerah pesisir melakukan hubungan sangat intensif dengan kerajaan Mataram sekaligus sebagai siasat untuk menutupi 'kejahatannya'. Penguasa ini kemudian digantikan oleh Kiai Hangabehi Wangsadipa yang kemudian memberikan sanksi kepada Wiratmaka dan kedua puteranya yang memerintah sangat kejam. Di dalam bidang ekonomi, setelah kebijakan penutupan pelabuhan gagal dan diikuti dengan pemberlakuan pemungutan tol pelabuhan, maka pada tahun 1651 dilakukan sensus penduduk sebagai bahan penetapan pajak perorangan. Penarikan pajak yang diserahkan bersamaan dengan peringatan Garebeg Maulud ini akhimya menyengsarakan rakyat, sehingga sampai mengakibatkan krisis keuangan. Pada akhirnya setelah kebijakan monopoli gagal dan menimbulkan konflik antarpenguasa pesisir, kebijakan diganti dalam bentuk hutang kepada Sunan dengan bunga 100 % setahun. Keadaan ini sangat memojokkan penguasa Vlll pesisir, sehingga pertentangan semakin terbuka dengan melibatkan kekuatan 'luar', baik penguasa daerah di nusantara maupun pihak asing. Setelah berlangsung cukup lama, akhirnya diketahui bahwa penguasa pesisir yang bernama Mirmagati telah berperan dalam pembiayaan pemerintahan kerajaan. Kondisi sosial-ekonomi secara internal yang carut marut itu akhirnya ditambah dengan kondisi di pusat pemerintahan kerajaan Mataram dengan masuknya intervensi Kompeni Belanda dalam bidang pemerintahan. Berbagai bentuk perjanjian antara Kompeni Belanda dengan pemerintah Kerajaan Mataram itulah secara nyata telah menyebabkan runtuhnya peran kota-kota pelabuhan di pesisir Pulau Jawa, termasuk kota pelabuhan Jepara, terutama setelah disepakatinya kontrak politik dalam Perjanjian Ponorogo tahun 1743. Dengan demikian transformasi sosial-ekonomi sebagai akibat dari dinamika masyarakat telah mengakibatkan pasang surutnya sebuah kota sebagai wadah hubungan sosial. Perubahan hubungan sosial dan ekonomi antara pusat-pusat kekuasaan dengan wilayah sekitarnya telah mengakibatkan pasang surutnya kota pelabuhan Jepara.

The city of Jepara appeared for the first time in history with the murdered of Ratu Kalinyamat's husband and brother. From then on its growth went in conjunction with the dominance of power centers in Central Java. It was in general influenced by two factors: internal and external. The internal factor represented the dynamics of society in relation with population density, demands for employment, and residential needs. The external factor included urbanization and diffusion from surounding areas forgething employ opportunities and resources. Hegemony on the part of the ruler was influential to the dynamics of the urban society until tend to collapse social-economics roles this city. Between the 16th and 18th centuries, the port-city of Jepara witnessed four transitions ofpower among the rulers, who managed this city. Social changes took place in conjunction with the transformation processes from one ruler to another. Changes took place in the relationship between the people and ruler, and were manifest in the emergence of new social groups, stimulated by the dynamics of the urban society and by the influence of power centers to which they were subjected. Social relationships changed because there were shifts in social status, for instance the rise of traders to the new priyayi (gentry) with wide power. The newcomers were not only job-seekers, but also big merchants who were sent there by the power centers to compete in Jepara. This factor provided an opportunity for social transformation or, at least, the dynamics of the urban society this city. Studies on the social and economic conditions of Jepara and their relationship to the power center between the 16th and 18th centuries reveal that conflicts took place between the parties involved in the social relations mentioned before. An macroperspectives, under the rule of the Demak kingdom, the relationship between the rulers and the general masses was still harmonious enough, as the Jepara rulers had close family ties with the rulers of Demak, and the port was shified was not hustled with trading activities yet. When the power center shifted to the hinterland, especially Pajang, the relationship between Jepara and power center remained the same, and vice versa. However, when the center of government moved to Mataram, control on the port-city Jepara was intensively. In that time, the center ofpower of Mataram awamess to the port-city Jepara as enormous source of revenues for kingdom beside agriculture. This intensity reached its clear when Mataram was headed by Sunan Amangkurat I (1664-1677). In that time, the Dutch East-India Company (VOC) was influence to the government, there was coloured the relationship between center of X power with surounding area included Jepara. Although in political side Sunan Mangkurat I was recognition of the Dutch sovereignity over Batavia, but he had strong hold on bureaucracy and econorftic. The policy of the port, promotion and demotion of officials, both central and local, were stringed with their economic achievements. The relationship between the center and Jepara was apparently intensive, as indicated by frequent shifts in the Jepara mayorality and economic measures they applied. In social aspect, promotioned of Wiraatmaka, the big harbor master, were consequented of post-policy in closed port of Java coastal area. This policy were not effectively, until were coloured to people dynamics with changed power system and personals. Wzraatmaka to be powerful at all of port had relationship with Mataram as well as to close his badness. This ruler was substitute by kiai Hangabei Wangsadipa who had punished him and the sons. In economic aspect, after the policy of closed the port was failed and then to pick toll of the port, in 1651 carry out ofpopulation census as basic to definite of individual person taxation. The tax was collected behind the ceremony of Garebeg Maulud to suffer there people until the financial crisis. The latest, monopoly policy was failed and to bring about interport rulers, until changed policy to owe with Sunan by lend at interest 100 % per years. In the long time, these conditon invited the outer powers to bandaged in internal conflict. Internal condition of socio-economic which chaos to be able the internal condition of Mataram kingdom with influence of Dutch to cause collapse of the roles port-city at Java inland include Jepara, especially after political contract at Ponorogo in 1743. By way of conclusion, the socio-economic transfonnation as result of people dynamic was caused rise and down the city as an basin of social relationship. Change of socio-economic relationship between power centers and surounding areas were result of rise and down the portcity of Jepara.

Kata Kunci : Sejarah Indonesia,Pelabuhan Jepara,Awal Abad 18

  1. S2-PAS-2004-Djoko_Dwiyanto-Abstract.pdf  
  2. S2-PAS-2004-Djoko_Dwiyanto-Bibliography.pdf  
  3. S2-PAS-2004-Djoko_Dwiyanto-Tableofcontent.pdf  
  4. S2-PAS-2004-Djoko_Dwiyanto-Title.pdf