Interaksi eksekutif-birokrasi di Kota Bandar Lampung

ALAMSYAH, Prof.Dr. Miftah Thoha

2004 | Tesis | S2 Administrasi Negara

Selama rezim Orde Baru, birokrasi sangat dominan karena sosok eksekutif lokal yang kuat dan pengaruh sentralisasi program-program pembangunan yang menekankan birokrasi lokal sebagai mitra utama Pemerintah Pusat. Kini, ketika institusi legislatif lokal menguat dan peran Pemerintah Pusat semakin terbatas, adakah perilaku politik birokrasi adalah tetap atau mengalami perubahan? Yang menggelitik ditelaah adalah bagaimana konteks kebijakan desentralisasi yang memberikan peran lebih besar terhadap institusi legislatif mempengaruhi strategi struggle of politics birokrasi lokal dalam memperebutkan resources yang ada di daerah. Dengan demikian, meskipun eksekutif ‘secara normatif’ merupakan ‘bos birokrasi’ tetapi ‘sebagai bawahan’ yang memiliki power, nilai, dan strategi politik – dan karenanya berpeluang mempengaruhi proses politik – birokrasi berpeluang mengadakan tawar menawar politik berkenaan dengan keputusan-keputusan politik eksekutif yang akan mempengaruhi kepentingan kolektif birokrasi. Bertolak dari situasi di atas, riset ini akan menelaah relasi politik eksekutif-birokrasi di Kota Bandar Lampng. Riset difokuskan pada 2 (dua) persoalan: bentuk/pola interaksi politik eksekutifbirokrasi seperti apakah yang terjadi di Kota Bandar Lampung? Dan, bagaimana implikasi bentuk/pola tersebut terhadap proses kebijakan publik? Penelitian bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk/pola interaksi politik eksekutif-birokrasi yang terjadi di Kota Bandar Lampung; (2) menganalisa determinan yang mempengaruhi bentuk/pola interaksi politik eksekutif-birokrasi yang terjadi di Kota Bandar Lampung; dan (3) memaparkan implikasi bentuk/pola eksekutif-birokrasi yang terjadi di Kota Bandar Lampung terhadap proses kebijakan publik. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam: (1) memberikan pemahaman baru terhadap perilaku politik lembaga-lembaga pemerintah, terutama institusi eksekutif dan birokrasi, dalam setting politik lokal yang diatur menurut UU No. 22 Tahun 1999; (2) menawarkan kerangka konseptual dalam rangka mengidentifikasi kelemahan kebijakan desentralisasi menurut UU No. 22 Tahun 1999 terutama isu yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan politik pemerintahan lokal; (4) menstimulir ide-ide kreatif di kalangan mahasiswa pasca sarjana, khususnya Program Studi Administrasi Negara, dalam rangka memahami dan merekonstruksi ide-ide perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia Baru. Riset ini didisain dengan paradigma kualitatif-fenomenologis. Sampel ditentukan secara purposive sampling. Teknik pengumpulan, analisa, dan verifikasi hasil penelitian mengunakan teknikteknik yang dikembangkan dalam paradigma kualitatif-fenomenologis. Bertolak dari konsep sublation of the executive dan executive ascendancy, riset ini mengistilahkan interaksi eksekutif-birokrasi di Kota Bandar Lampung dengan konsep integrasi yang dijelaskan melalui 3 (tiga) preposisi: (a) birokrasi adalah eksekutif, tetapi eksekutif belum tentu birokrasi, (b) pendalaman loyalitas struktural dan kultural birokrat terhadap eksekutif dan status quo sistem birokrasi; dan (c) eksekutif tidak inovatif terhadap proses reformasi birokrasi publik. Integrasi eksekutif-birokrasi di Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung terjadi karena: (a) karakter eksekutif yang memiliki decions-making power, gaya kepemimpinan birokratis, kharismatis, dan sangat powerful dalam proses pembuatan kebijakan; (b) karakter birokrasi yang mempertahankan pola berpikir sempit [narrow perspective], loyalitas, praktek-praktek mal-administrasi yang dilegitimasi secara kultural, dan kecenderungan birokrasi untuk membangun interaksi sosial melalui pola-pola formal dan informal; (c) pemerintah pusat tetap memegang kewenangan substantif berkenaan dengan pilihan terhadap prosedur dan subtansi kebijakan yang diproses melalui birokrasi publik pada level pemerintahan daerah; (d) lemahnya posisi tawar menawar institusi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi; dan (e) institusi negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif, dan birokrasi tetap dominan dalam proses kebijakan publik; Integrasi eksekutif-birokrasi menyebabkan proses kebijakan publik cenderung: (a) elitis dan inkremental; (b) ruang partisipasi publik semakin kecil; (c) substansi kebijakan publik tidak melayani kepentingan publik; (5) praktek abuses of power sering terjadi

During New Order regime, bureaucracy has been dominance of local politics because of strong local executive and the influence of centralization development program that emphasizing local bureaucracy as special associate of Central Government. Currently, when legislative institution of local government stronger than before and role of Central Government has been progressively limited, what is happen with political behavior of bureaucracy? Are they still to remain or changing? The tickling issue is how the context of decentralization policy gives larger role to the institution of local legislative to influences political struggle of local bureaucracy in fighting over local resources. Even if the executive is the big boss of bureaucracy (normative view), but because of it has power, assess, and political strategy – and hence it has opportunity to influence political process – bureaucracy has occasion to make bargain position with political decision of executive which influence the collective interest of bureaucracy. Based on the above situation, this project will analyze the political relationship of executivesbureaucracy in Bandar Lampung municipality. It will focus on to the problem: what is kind of nexus executive-bureaucracy in Bandar Lampung? What and how are the implications that form to public policy process? This project seeks: (a) to describe the pattern of nexus executives-bureaucracy in Bandar Lampung municipality; (b) to analyze what are the determinants that influence those patterns; (c) to explain the implication of nexus executives-bureaucracy pattern to public policy process. It is probably useful: (a) to give new understanding to the political behavior of government agency, especially the institution of executive and bureaucracy, in local politics based on Law of 22/1999; (b) to recommend conceptual framework in order to identifying deficiency decentralization policy under Law of 22/1999; (c) to stimulate new ideas among post-graduated student, especially Public Administration Department, University of Gadjah Mada. This project applies qualitative-phenomenology as a method. Sample determined by purposive sampling. Technique of data gathering, data analyze, and verification of result research using numerous techniques that developed in qualitative-phenomenology paradigm. Based on the concept of sublation executives and executives’ ascendancy, this research proposes term of integration to explain nexus executives-bureaucracy in Bandar Lampung municipality. Term of integration consists of three prepositions. First, bureaucracy is the executive, but the executives is not yet bureaucracy. Second, the cultural and structural bureaucrat loyalties to the executive and status quo (bureaucracy system) tend to deepening. Third, the executive does not innovative to the process of public bureaucracy reform. Various determinants caused the integration of executives-bureaucracy in Bandar Lampung municipality. First, the executive character has decisions-making power, bureaucratic leaderships, charismatic, and very powerful in course of policymaking. Second, the character of bureaucracy maintaining narrow perspective, loyalties, mal-administration that legitimized culturally. Bureaucracy develops social interaction through the informal and formal patterns. Third, central governments remain to hold the substantive authority deal with to alternatives of procedure and substantive policy process in the bureaucracy at local government. Fourth, the bargain power of legislative has low when meet to executives and bureaucracy. Fifth, institution of state (as a representing by executives, legislative institution), remains too dominant in course of public policy The executives-bureaucracy nexus tend to elitist and incremental. Public participation was low, substantive public policy does not serve public interest and abuses of power often happened

Kata Kunci : Politik Birokrasi,Interaksi Eksekutif dan Birokrasi