Laporkan Masalah

Kualitas Public Sphere dalam Tagar #Gunungkidulmelawan dan Petisi Sebagai Upaya Perlawanan Terhadap Pembangunan Beach Club Milik Raffi Ahmad di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul

FENDI SAPUTRA, Dr. Subando Agus Margono, M.Si.

2025 | Tesis | MAGISTER MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Penelitian ini mengkaji dan menganalisis peran ruang digital dalam perlawanan masyarakat terhadap pembangunan beach club milik Raffi Ahmad di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul. Fokus penelitian ini adalah bagaimana ruang digital, khususnya melalui petisi daring, media sosial, dan jurnalisme independen, membentuk arena ruang publik yang memungkinkan masyarakat menyuarakan kepentingan ekologis dan hak ruang secara kolektif. Perlawanan ini muncul di tengah absennya partisipasi publik dalam perencanaan ruang serta meningkatnya dominasi modal dalam kebijakan tata ruang lokal. Ruang digital menjadi alternatif tempat warga menegosiasikan kepentingan, membangun narasi tandingan, dan menantang legitimasi negara serta investor melalui tekanan simbolik dan wacana. Melalui konsep publicness, penelitian ini mengukur sejauh mana ruang digital dapat menjalankan fungsi ruang publik dalam konteks kebijakan pembangunan. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan counter-public sphere dan counter-hegemonic untuk menelusuri bagaimana media sosial dapat menjadi alat resistensi terhadap hegemoni narasi negara dan kapital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petisi daring menjadi aktor paling kuat dalam mendorong respons pemerintah, sementara diskusi di Twitter bersifat cair dan sporadis. Selain itu, respons pemerintah daerah terhadap tekanan digital sangat ditentukan oleh orientasi kepemimpinan yang terbuka terhadap tuntutan warga. Penelitian ini memperluas dimensi publicness dengan menunjukkan bahwa algoritma, visibilitas konten, dan struktur jaringan menjadi faktor penting dalam efektivitas ruang publik digital. Dimensi digital ini juga berkontribusi pada diskusi tentang ruang publik di era pasca kebenaran, dengan menawarkan perspektif baru bahwa ruang digital dapat menjadi arena artikulasi kebijakan yang inklusif, terutama dalam konteks perebutan ruang dan konflik ekologis. Hasil temuan ini menjadi rujukan penting dalam memahami bagaimana masyarakat dapat mengaktualisasikan hak-hak ruang melalui teknologi digital, serta memberikan pelajaran bagi tata kelola ruang yang lebih partisipatif dan demokratis di masa depan.

This research examines and analyzes the role of digital space in the public resistance against the construction of a Beach Club owned by public figure Raffi Ahmad in the karst area of Gunungkidul Regency. The main focus is to explore how digital platforms—particularly online petitions, social media, and independent journalism—serve as public spheres that enable citizens to collectively voice ecological concerns and spatial justice. The resistance emerged amid the absence of public participation in spatial planning and the increasing influence of capital in local development policies. Digital media became an alternative arena where people negotiated interests, built counter-narratives, and challenged the legitimacy of the state and private investors through symbolic and discursive pressure. Using the concept of publicness, this research assesses the extent to which digital space can perform the functions of a public sphere in the context of contested development. It also applies the theoretical frameworks of counter-public spheres and counter-hegemonic discourse to investigate how social media becomes a tool for resisting dominant state-capital narratives. The findings show that online petitions emerged as the most influential actor in generating political response, while Twitter discussions, despite their reach, were fragmented and lacked coordination. Additionally, the responsiveness of the local government to digital pressure was strongly influenced by the political orientation and openness of its leadership. This research contributes to the theoretical development of publicness by introducing digital dimensions—such as algorithmic logic, content visibility, and networked participation—as critical factors in evaluating the quality of digital public spheres. The digital dimension also enriches the broader discourse on the public sphere in the post-truth era, offering a new perspective on how digital platforms can function as legitimate arenas for articulating public demands, especially in conflicts over space and environmental justice. These findings provide practical insights into how communities can assert spatial rights through digital media and offer valuable references for building more participatory and accountable spatial governance in the future.

Kata Kunci : ruang publik digital, publicness, petisi daring, kontestasi ruang, Gunungkidul Melawan, counter-hegemonic, counter-public sphere, media sosial

  1. S2-2025-528881-abstract.pdf  
  2. S2-2025-528881-bibliography.pdf  
  3. S2-2025-528881-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2025-528881-title.pdf