Dimensi moral dalam syair tembang pada pergelaran Wayang Purwa
SOETRISNO R, Promotor Prof.Dr. Hj. Endang Daruni Asdi
2004 | Disertasi | S3 Ilmu FilsafatPergelaran wayang purwa tetap menarik bukan karena penggemarnya itu mengalami pergeseran nuansa, melainkan pertunjukan wayang itu sendiri tetap eksistensinya dan justru menarik perhatian masyarakat. Wayang memberikan sejumlah alternatif pilihan tentang watak atau karakter yang dapat dijadikan cermin dalam kehidupan, sehingga masyarakat menempatkan pergelaran wayang tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan tetapi sebagai wacana untuk berinteraksi sosial. Dalam pementasan wayang purwa terdapat tiga unsur pokok selain wayang itu sendiri adalah dhalang, niyaga dan waranggana. Dalam pergelaran wayang purwa selain lakon wayang yang sarat dengan ceritera-ceritera yang berisi tentang kehidupan manusia, yang menarik adalah syair-syair tembang yang dilantunkan oleh waranggana. Syair-syair tembang tadi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh pertunjukan wayang. Tidak banyak orang yang menonton wayang menyadari bahwa syair tembang yang dilantunkan oleh waranggana menjadi bagian yang tak terlepaskan dari visi, misi, kemudian eksistensi wayang itu sendiri. Moralitas Jawa sebagai hasil analisis penelitian pada syair-syair tembang dalam pergelaran wayang purwa telah menjadi sakaguru terhadap perkembangan kebudayaan Jawa, sehingga kebudayaan Jawa hingga saat ini tetap bisa berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tanpa adanya moralitas, sebuah kebudayaan akan cepat tergusur oleh lajunya perubahan zaman itu sendiri, karena tanpa adanya pendukung dan pengukuh kepribadian yang kuat dan abadi. Pergelaran wayang purwa dalam pemahaman intersubjektif masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya dipahami sebagai tontonan, tatanan sekaligus tuntunan yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran moral yang mempunyai nilai luhur. Wayang merupakan etika kehidupan oleh karena wayang itu sendiri sebagai gambaran dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Kumpulan dari ajaran moral yang lengkap dan kemudian menjadi ajaran moral yang baku diekspresikan dalam bentuk sanépa, piwulang, dan pituduh yang sangat berguna bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih nyaman. Wayang merupakan cerminan falsafah hidup orang Jawa, pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni pertunjukan, tembang, kesusasteraan dari orang tua kepada generasi penerusnya secara turun-temurun. Hal ini dapat dilacak dengan banyaknya sastra piwulang dengan ungkapan sing bêcik kêtitik sing ala kêtara, titénana sing cidra mangsa langgênga dan kang tumrap néng tanah Jawa, agama agêming aji menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa sehingga wayang merupakan ungkapan filsafat Jawa. Dalam pewayangan dijumpai konsep keserasian hubungan antara pemimpin dan rakyat atau manunggaling kawula gusti. Personifikasi citra ideal rakyat dipersonifikasikan dalam wayang kulit purwa dengan ditampilkannya tokoh-tokoh punakawan atau batur yang diartikan pangembating atur yang artinya memberikan saran atau pertimbangan yang kadang-kadang berperan memberikan kritik, pengingat, atau mencegah bila penguasa keluar dari norma-norma kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Wayang Purwa performance remains attractive not because of its fans experiencing nuance switching, but because of the performance itself still has its existence and this catches the attention of the public. Wayang provides a wide range of alternatives about the characters applicable to the life, so that the public regards wayang not only as a performance or entertainment, but also as a discourse for social interaction. In the performance of Wayang Purwa there are three major elements aside from the wayang itself. They are dhalang, niyaga and waranggana. In its performance, in addition to the wayang play being full of the stories about human life, there are also some interesting song recitations performed by the waranggana. These songs constitute the integrated parts of overall wayang performance. Not all the people watching the show recognize that the song recitations performed by the waranggana are the integrated elements of vision, mission, and the existence of the wayang itself. The Javanese morale as the analytic result of the study on the song recitations in the performance of wayang purwa has been the central pillar of the Javanese culture development, so that to the present it can continually develop and adjust to the era development. Without morale, a culture can easily be thrown away by the pace of the time progress, since it has no strong and devoted supporters and the central pillar. The play of wayang purwa, particularly in the inter-subject concept of the Javanese and of the Indonesians in general, is understood as a show, order and also direction within which there are some highly precious morale teachings. Wayang is life ethics because it is the picture of human life both individually and collectively. The collection of the complete morale teachings, which then become standard ones, is expressed in the forms of sanépa, piwulang, and pituduh extremely useful for the human beings to live a more comfortable life. Wayang is a mirror of the Javanese’s life philosophy and the morale messages of the Javanese parents are communicated through arts show medium, songs, literature to the youths from one generation to another. It is traceable in the large number of piwulang literatures with such expressions as sing bêcik kêtitik sing ala kêtara, titénan sing cidra mangsa langgênga and kang tumrap néng tanah Jawa, agama agêming aji that demonstrate that the existence and the essence of morale are highly valued in the Javanese culture, so that wayang constitutes an expression of the Javanese philosophy. In wayang we encounter the concept of the harmony of relationship between the rulers (leader) and the ruled (people) or manunggaling kawula gusti. The personification of the ideal image of the people is showed in the leather wayang purwa with the performance the punakawans (the royalty servants) or batur meaning pangembating atur which refers to the meaning of giving advices or considerations that sometimes act as the critics, reminders, or preventive figures when the rulers pay no regard to the norms of goodness, truth, and beauty.
Kata Kunci : Filsafat Moral,Syair Tembang,Wayang Purwa