Kedudukan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Asas Single Prosecution System

Sandri Bintang Maranata, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M.

2025 | Skripsi | ILMU HUKUM

KEDUDUKAN PENUNTUT UMUM KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) DAN KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI ASAS SINGLE PROSECUTION SYSTEM

Oleh: Sandri Bintang Maranata, Muhammad Fatahillah Akbar

INTISARI

Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan penuntut umum KPK dan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi ditinjau dari asas single prosecution system, serta mengkaji penerapan asas single prosecution system pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XXI/2023 dikaitkan dengan rekomendasi united nations against corruption sebagai upaya optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Penelitian dalam Penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik deskriptif, yaitu dengan menguraikan dan menjelaskan permasalahan hukum secara sistematis guna memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap persoalan yang diteliti, serta memudahkan pembaca dalam memahami substansi dari penelitian ini secara komprehensif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, Pertama, Single Prosecution System merupakan asas yang mendudukan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara, di mana kewenangan penuntutan semestinya didelegasikan oleh Jaksa Agung kepada siapapun yang dikehendakinya. Dalam praktiknya, terdapat dua model penerapan asas ini, yakni sistem penuntutan tunggal murni dan tidak murni. Kedudukan Penuntut Umum KPK dan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari asas single prosecution system yang tidak murni, di mana KPK tetap memiliki kewenangan penuntutan secara atributif berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, namun pelaksanaanya tetap memerlukan koordinasi dengan Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12A UU No. 19 Tahun 2019. Kedua, bahwa Putusan MK Nomor 87/PUU-XXI/2023 memberikan suatu kebaharuan hukum dengan memperkuat kedudukan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan unsur subjek militer dan sipil. Untuk mengimplementasikan asas single prosecution system secara optimal pasca putusan tersebut, diperlukan harmonisasi melalui pendekatan yang bersifat koordinatif dan integratif yang tidak menghapus independensi KPK tetapi menyelaraskannya dengan sistem penuntutan nasional. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 36 dan 38 united nations against corruption.

THE POSITION OF PUBLIC PROSECUTORS FROM THE CORRUPTION ERADICATION COMMISSION (KPK) AND THE ATTORNEY GENERAL'S OFFICE IN CORRUPTION CRIMES FROM THE PERSPECTIVE OF THE SINGLE PROSECUTION SYSTEM PRINCIPLE
By: Sandri Bintang Maranata, Muhammad Fatahillah Akbar

ABSTRACT

 This legal writing aims to identify and analyze the position of public prosecutors from the Corruption Eradication Commission (KPK) and the Attorney General's Office in the prosecution of corruption crimes in light of the single prosecution system principle. It also examines the implementation of this principle following the Constitutional Court Decision Number 87/PUU-XXI/2023, in relation to the recommendations of the United Nations Convention against Corruption (UNCAC), as part of efforts to optimize the eradication of corruption in Indonesia.

This study employs normative legal research conducted through literature review and analysis of laws and regulations. The analysis uses a qualitative approach with descriptive techniques, aiming to systematically outline and explain legal issues in order to gain a comprehensive understanding of the subject matter and to assist readers in grasping the substance of this research thoroughly.

The findings of this study show, first, that the single prosecution system is a principle that positions the Attorney General as the highest public prosecutor in a country, whereby the authority to prosecute should be delegated by the Attorney General to any designated party. In practice, there are two models of implementation: the pure single prosecution system and the impure one. The position of public prosecutors from KPK and the Attorney General's Office in Indonesia reflects an impure form of the single prosecution system, wherein KPK retains prosecutorial authority attributively based on Law Number 30 of 2002, but its implementation still requires coordination with the Attorney General's Office as stipulated in Article 12A of Law Number 19 of 2019. Second, Constitutional Court Decision Number 87/PUU-XXI/2023 introduces a legal development by strengthening KPK's authority in handling corruption cases involving both military and civilian actors. To implement the single prosecution system optimally following this decision, harmonization is required through a coordinated and integrative approach that preserves KPK’s independence while aligning it with the national prosecution system. This approach is also consistent with Articles 36 and 38 of the United Nations Convention against Corruption.

Kata Kunci : Penuntut Umum, Tindak Pidana Korupsi, Single Prosecution System