Perubahan kondisi terumbu karang berdasarkan penerapan kombinasi metode Lyzenga dan Teknik Autokorelasi Spasial pada citra Satelit Landsat TM dan ETM+ :: Studi kasus Zona Inti Taman Nasional Laut Karimunjawa
ADI, Novi Susetyo, Prof.Dr. Sutanto
2004 | Tesis | S2 Penginderaan JauhPemetaan obyek bawah air (bentik), -khususnya terumbu karang-, menggunakan citra satelit dapat dilakukan menggunakan berbagai macam teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain klasifikasi multispektral dan autokorelasi spasial. Teknik klasifikasi multispektral bertujuan untuk mengelompokkan obyek berdasarkan kesamaan sifat optik atau pantulan sedangkan untuk teknik autokorelasi spasial pengelompokan obyek dihasilkan dari perhitungan hubungan piksel tetangga (neighbouring pixels). Teknik autokorelasi spasial juga dapat menghasilkan informasi status homogenitas dan heterogenitas terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk : 1). mengetahui persentase tutupan terumbu karang dan perubahannya melalui penerapan teknik klasifikasi multispektral pada citra satelit, 2). mengkaji perubahan kualitatif terumbu karang menggunakan teknik autokorelasi spasial dan 3). mengkaji status homogenitas dan heterogenitas terumbu karang daerah penelitian menggunakan teknik autokorelasi spasial. Sebelum proses klasifikasi multispektral, data citra landsat tahun 1991, 1997 dan 2001 dinormalisasi terhadap data tahun 2002 menggunakan analisis regresi antar obyek-obyek yang tidak berubah atau diasumsikan tidak berubah (invariant targets). Pengaruh kolom air direduksi menggunakan metode Lyzenga. Proses klasifikasi multispektral dilakukan untuk 5 kelas yang dipilih yaitu karang, pecahan karang, alga, substrat dan pasir. Algoritma yang dipilih untuk proses klasifikasi multispektral adalah maximum likelihood. Setelah survey lapangan, hasil klasifikasi akhir dibandingkan dengan citra yang dihasilkan dari proses menggunakan teknik autokorelasi spasial untuk mengetahui ketelitian teknik tersebut dan dengan data in situ hasil program Reef Check WWF tahun 2000, 2001 dan 2002. Hasil menunjukkan adanya perubahan persentase tutupan karang dari 43 % menjadi 25 % antara tahun 1991 sampai dengan 2002. Jika dihitung relatif terhadap tahun 1991 perubahan ini adalah sebesar 42 %. Kajian perubahan terumbu karang menggunakan teknik autokorelasi spasial menunjukkan hasil yang relatif sama terhadap hasil klasifikasi multispektral, yaitu sama-sama menunjukkan pengurangan persentase tutupan karang dari tahun 1991-2002. Teknik autokorelasi spasial juga menghasilkan informasi tambahan lain, yaitu status homogenitas dan heterogenitas terumbu karang daerah penelitian walaupun terdapat ketidakkonsistenan pada seluruh area dan tahun yang diduga diakibatkan faktor spasital dan spectral. Data in situ WWF menunjukkan peningkatan tutupan karang dari 16,6 % ke 32,4 % antara tahun 2001 dan 2001. Sebaliknya hasil analisis citra untuk kurun waktu sama menunjukkan pengurangan tutupan karang dari 27,7 % ke 25 %. Walaupun terjadi beberapa ketidaksesuian pada kelas karang, perbandingan persentase tutupan untuk total semua kelas menunjukkan bahwa hasil analisis citra hanya berbeda lebih tinggi 10,3 % dari data in situ WWF.
Besides attempts to remotely identify specific benthic habitats with similar optical properties using multispectral classification technique, an alternative use of available satellite technology may be to classify benthic classes based on spatial autocorrelation as well as to examine benthic homogeneity of a coral reef ecosystem with the hypothesis that a healthy reef will display great heterogeneity, but a dead reef will be relatively homogeneous. The aims of this study are: (1). to obtain coral cover percentage and its change over time from satellite analysis using multispectral classification technique, (2). to perform a qualitative change detection analysis of coral reefs ecosystem using spatial autocorrelation technique and (3). to examine benthic homogeneity / heterogeneity status of coral reef ecosystem in the study area. Prior to multispectral classification, Landsat data of 1991, 1997 & 2001, are normalized to 2002 data using regression analysis of invariant targets. Water column effect is reduced according to Lyzenga method. A maximum likelihood classification is then undertaken to identify five benthic classes: “coralâ€, “rubbleâ€, “algaeâ€, “substrate†and “sandâ€. After seatruth survey, the final classification results are compared to images produced from spatial autocorrelation technique (calculated using the Getis statistic) and to independent in situ database for similar time periods obtained from annual Reef Check Program organized by WWF. The result shows that there is a decrease in coral cover between 1991 and 2002 from 43 % to 25 % coral cover, representing a 42 % loss in coral cover relative to 1991. The overall results from coral reefs change detection study based on spatial autocorrelation technique relatively coincide well with the resulted habitat map produced from multispectral classification technique. The trend in both is the same, a loss in coral cover of the study area from 1991 to 2002. Spatial autocorrelation technique also demonstrates its ability to provide homogeneity / heterogeneity status of the study area despite inconsistency results applicable to the whole area and all years due to spatial and spectral distortion. In situ data reveals that study area underwent an increase in coral cover between 2001 and 2002, from 16,6 % to 32,4 % coral cover, representing an increase of 15,8 % of coral cover. Conversely, over similar time periods Landsat data estimates losses, from 27,7 % to 25,5 % coral cover, which represents a 2,2 % loss in coral cover. Although some discrepancies exist in ‘coral’ class, comparison of total benthic class shows that satellite data only overestimates 10,3 % of in situ data.
Kata Kunci : Citra Satelit Landsat TM dan ETM,Kondisi Terumbu Karang,Metode Lyzenga dan Teknik Autokorelasi Spasial