Pengajaran, penelitianm dan pelayanan farmakologi klinik di Fakultas Kedokteran Negara Berkembang
RAHMAWATI, Riana, Dr. Sri Suryawati
2004 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan MasyarakatLatar Belakang: Kurangnya ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial serta penggunaan obat yang tidak rasional masih banyak dijumpai khususnya di negara berkembang. Peran institusi pendidikan dalam penanganan masalah tersebut telah teridentifikasi namun sampai saat ini belum terdapat data yang menunjukkan bagaimana peran tersebut dilakukan oleh bagian farmakologi atau farmakologi klinik di fakultas kedokteran (FK). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan pengajaran, penelitian, dan pelayanan farmakologi klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Metode: Seratus tujuh puluh dua FK di negara berkembang telah disurvey dengan mengirimkan kuesioner ke kepala departemen farmakologi atau farmakologi klinik. Dari jumlah tersebut, diperoleh respon 15 FK di Indonesia dan 15 di negara berkembang lain (Malaysia, Philipina, Ghana, Asia Selatan. India, Uganda, Etiopia, Nepal, Nigeria, Fiji, Argentina, Kroasia, dan Turki). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul Guide to Good Prescribing telah diimplementasikan di 47% FK di Indonesia dan 93% di negara berkembang lainnya. Namun data menunjukkan bahwa integrasi pengajaran farmakoterapi dengan disiplin ilmu lain hanya terdapat pada 47% FK. Meskipun semua FK menyatakan bahwa farmakoterapi diajarkan untuk mahasiswa kedokteran, beberapa topik penting kurang terpapar dalam kurikulum, antara lain masalah penggunaan obat dan faktor yang mempengaruhi peresepan, peraturan dan regulasi yang mempengaruhi peresepan (kebijakan obat nasional, formularium, pedoman pengobatan standar, program obat esensial), aspek etik dan hukum dalam peresepan, penilaian uji klinik, farmakokinetika klinik, dan keterampilan komunikasi. Penelitian farmakologi klinik telah dilaksanakan di 93% departemen, terutama berupa penelitian pola penggunaan obat (63%) dengan fokus pada identifikasi masalah penggunaan obat (53%). Namun kurangnya kolaborasi penelitian dengan manajer kesehatan, komite obat dan terapetik rumah sakit, serta industri obat memerlukan perhatian lebih lanjut. Kegiatan pelayanan farmakologi klinik dilakukan di 47% departemen terutama dalam bentuk pemberian informasi obat dan pendidikan masyarakat untuk peningkatan penggunaan obat rasional. Hanya 20% FK di Indonesia dan 27% di negara lain mempunyai jalinan kerja sama dengan manajer kesehatan di daerah dalam upaya peningkatan keberhasilan program penggunaan obat rasional. Di tingkat nasional jalinan kerjasama menteri kesehatan dan otoritas regulasi obat nasional baru dilakukan oleh sebagian kecil departemen (27%). Kesimpulan: Hasil penelitian disimpulkan bahwa kegiatan pengajaran, penelitian dan pelayanan farmakologi klinik yang dilakukan di departemen farmakologi atau farmakologi klinik masih kurang mendukung promosi obat esensial dan kebijakan obat yang menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan ketepatan penggunaan obat esensial. Untuk itu peningkatan kuantitas dan intensitas kegiatan serta penguatan kolaborasi dengan institusi lain sangat diperlukan.
Background: Inadequate of access to essential medicines and irrational drug use is commonly practiced, especially in developing countries. The roles of educational institutions are well recognized, but so far there is enough information available about activities of pharmacology or clinical pharmacology departments in improving this situation. This study was conducted to describe teaching, research and service activities of clinical pharmacology in developing countries. Methode: One hundred seventy two medical schools in developing countries were surveyed by sending questionnaire to pharmacology or clinical pharmacology department, and 30 departments responded (15 from Indonesia and 15 from other countries i.e. Malaysia, Philippine, Ghana, South Asia, India, Uganda, Ethiopia, Nepal, Nigeria, Fiji, Argentina, Croatia, and Turkey). Result: Based on the responses, it was found that WHO Guide to Good Prescribing (GGP) has been implemented in 47% and 93% department in Indonesia and other developing countries, respectively. While GGP is an ideal model for integrated teaching, data showed that the integrated teaching with other department was only conducted in 47% departments. Although all department stated that pharmacology was covered, this study found some essential topic which are less covered in the curriculum, e.g., drug utilization problem and factor influencing prescribing, rules and regulation affecting prescription (national drug policy, formulary, standard treatment guideline, essential drug program), ethical and legal aspect of prescribing, clinical trial assessment, clinical pharmacokinetic, and communication skills. Research in clinical pharmacology has been conducted at most departments (93%) mainly in the areas of drug use study (63%), emphasized on identifying drug use problem (53%). A few collaboration with health managers, hospital drug and therapeutic committees and drug industries need more attention. In term of services, only 20% departments in Indonesia and 27% in other developing countries build networking with health manager at district level in improving drug use programmes. Conclusion: In summary, the data showed that not much effort have been taken by medical schools through teaching, research and service activities of clinical pharmacology to ensure accessibility, affordability and appropriate use of essential medicines in the community. Therefore, intensity of activities and collaboration with relevant stakeholders should be encouraged.
Kata Kunci : Farmakologi Klinik,Pengajaran dan Penelitian,Fakultas Kedokteran,Negara Berkembang, Rational use of drug, developing countries, clinical pharmacology, medical school