Evaluasi Kinerja Rumah Tinggal Berbahan Batu Bata: Analisis Eksperimental dan Numerik
Namira Risza Pasya, Ir. Ashar Saputra S.T., M.T. ,Ph.D.,IPM.,ASEAN.Eng; Angga Fajar Setiawan. S.T., M.Eng., Ph.D
2025 | Tesis | S2 Teknik Sipil
Gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 menyebabkan kerusakan parah pada 175.671 rumah, menunjukkan perlunya penelitian terhadap kinerja struktur rumah tinggal satu lantai berbahan batu bata yang memiliki kekakuan rendah dan potensi kegagalan tinggi akibat beban seismik. Studi sebelumnya lebih berfokus pada bangunan bertingkat dengan sistem penahan gaya lateral yang lebih baik, sementara evaluasi terhadap rumah sederhana masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis tingkat kinerja rumah lama (lokasi di komplek UGM) dan rumah baru (lokasi di Turi) berdasarkan drift ratio yang mengacu pada FEMA 356 dalam berbagai skenario gempa, yaitu Service Level Earthquake (SLE), Design Basis Earthquake (DBE), dan Maximum Considered Earthquake (MCE).
Penelitian ini menggabungkan pendekatan eksperimental dan numerik. Pengukuran frekuensi alami dilakukan dengan akselerometer, sementara analisis spektrum frekuensi menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Pemodelan numerik dilakukan menggunakan perangkat lunak ETABS untuk mengevaluasi respons dinamis struktur, termasuk simpangan lateral dan percepatan lantai yang dibandingkan dengan percepatan tanah puncak desain (PGAM) sesuai SNI 1726:2019. Hasil validasi menunjukkan bahwa selisih antara frekuensi alami hasil pengukuran lapangan dan pemodelan numerik kurang dari 7%, yang ditetapkan sebagai kriteria kesesuaian pemodelan dengan kondisi bangunan asli. Selain itu, kedua bangunan mengalami amplifikasi, yang terlihat dari perubahan amplitudo pada ringbalk dan lantai dasar, baik pada arah X (memanjang) maupun arah Y (melintang). Amplifikasi ini menunjukkan bahwa getaran yang terjadi pada bagian atas bangunan lebih besar dibandingkan dengan bagian bawah, yang dapat mempengaruhi kinerja struktur terhadap gempa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah lama lebih rentan terhadap gempa dibandingkan rumah baru, dengan kinerja mencapai Collapse Prevention (CP) pada arah X dan Y dalam kondisi MCE. Simpangan lateral di kedua rumah melebihi batas aman sebesar 0.25?ri tinggi bangunan, mengindikasikan kekakuan struktur kurang optimal dan meningkatkan risiko kegagalan struktural saat gempa besar terjadi. Meskipun demikian, percepatan lantai yang dihasilkan masih lebih kecil dari PGAM, sehingga bangunan tetap berada dalam batas aman terhadap percepatan seismik. Namun, tingginya simpangan lateral menunjukkan perlunya peningkatan kekakuan lateral, pemilihan material yang lebih baik, serta penerapan standar desain yang lebih ketat untuk meningkatkan ketahanan rumah sederhana terhadap gempa.
The earthquake that struck Yogyakarta in 2006 caused severe damage to 175,671 houses, highlighting the need for research on the structural performance of single-story brick houses, which have low stiffness and a high risk of failure under seismic loads. Previous studies have primarily focused on multi-story buildings with better lateral force-resisting systems, while evaluations of simple houses remain limited. Therefore, this study analyzes the performance levels of the old house (located in the UGM complex) and the new house (located in Turi) based on the drift ratio, referring to FEMA 356 across various earthquake scenarios: Service Level Earthquake (SLE), Design Basis Earthquake (DBE), and Maximum Considered Earthquake (MCE).
This research integrates both experimental and numerical approaches. Natural frequency measurements were conducted using accelerometers, while frequency spectrum analysis utilized the Fast Fourier Transform (FFT). Numerical modeling was performed using ETABS software to evaluate the dynamic response of the structures, including lateral displacement and floor acceleration, which were compared with the design peak ground acceleration (PGAM) according to SNI 1726:2019. Validation results indicate that the difference between measured and numerically modeled natural frequencies was less than 7%, which was set as the criterion for model accuracy in representing the actual building conditions. Additionally, both buildings exhibited amplification, as evidenced by amplitude changes in the ring beam and ground floor in both the X (longitudinal) and Y (transverse) directions. This amplification suggests that vibrations at the upper parts of the buildings are greater than those at the lower parts, which can affect the structural performance during an earthquake.
The research results indicate that older houses are more vulnerable to earthquakes compared to newer houses, with performance reaching Collapse Prevention (CP) level in both the X and Y directions under MCE conditions. The lateral displacement in both houses exceeds the allowable limit of 0.25% of the building height, indicating insufficient structural stiffness and an increased risk of structural failure during a major earthquake. Nevertheless, the recorded floor acceleration remains lower than the PGAM, ensuring that the structures remain within the safe limits for seismic acceleration. However, the excessive lateral displacement highlights the need for improved lateral stiffness, better material selection, and stricter design standards to enhance the seismic resilience of simple residential houses.
Kata Kunci : accelerometer, earthquake, structural performance, residential building, FFT