Politik Israel terhadap Palestina pasca kesepakatan Oslo, 1993
PRASETYO, Supriyo Dwi, Dra. Siti Mutiah Setyawati, MA
2004 | Tesis | S2 Ilmu PolitikPenelitian ini menganalisa hubungan antara makin kuatnya kedudukan dan pengaruh partai-partai agama Yahudi dengan kecenderungan semakin represif dan inkonsistennya kebijakan politik Israel terhadap Palestina. Menganalisa dampak yang ditimbulkan dari kondisi demikian terhadap keamanan dalam negeri Israel dan prospek perdamaian Israel-Palestina. Hasil studi menunjukkan, pasca Kesepakatan Oslo kebijakan politik Israel terhadap Palestina justru semakin represif. Kebijakan represif tersebut dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelompok partai agama Israel yang setelah pemilu 1992 menunjukkan peningkatan pengaruh dan basis dukungan massa yang besar, baik di tataran grassroot maupun dalam politik birokratik. Peningkatan cukup signifikan perolehan kursi partai agama tersebut membuat mereka mendominasi knesset dan menentukan lolos atau tidaknya kebijakan pemerintah, termasuk masalah proses perdamaian dengan bangsa Palestina. Tekanan aliansi partai-partai agama Yahudi menyebabkan pemerintahan PM Sihimon Peres mengambil kebijakan untuk menghentikan sementara realisasi Kesepakatan Oslo, sebagaimana telah disepakati dalam pemerintahan Yitzhak Rabin. Pada masa pemerintahan PM Benyamin Netanyahu, Israel merubah formula perundingan yang semula berprinsip "land for peace" menjadi "land for security", penolakan terhadap isi Kesepakatan Oslo dan pembekuan terhadap kesepakatan Wye Plantation, serta penolakan terhadap model penyelesaian pemukim Yahudi di Hebron yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Sementara itu aliansi partai agama Yahudi juga telah menghambat (melalui mosi tidak percaya di knesset) keinginan PM Barak terlibat dalam KTT Camp David II. Mundurnya Partai Shas, Yisrael B'aliya, dan NRP dari koalisi pemerintahan PM Barak menyebabkan pemerintahan Partai Buruh ambruk. Represifitas kebijakan Israel mencapai puncaknya ketika di bawah pemerintahan PM Ariel Sharon dimana ia mendapat dukungan penuh aliansi partai-partai agama Yahudi dan Buruh. Kecenderungan lainnya, bahw a kebijakan politik Israel senantiasa tidak pernah konsisten. Kebijakan pemerintah Israel bersifat labil. Perbedaan plat form, ideologi partai (Buruh, Likud, dan Agama), dan dilema yang bersumber pada konsiderasi ideologi di satu sisi dan konsiderasi kepentingan pada sisi lainnya merupakan faktor positif terhadap inkonsistennya kebijakan politik Israel terhadap Palestina. Dari studi ini, tampak konfigurasi dan kondisi politik di Israel, dengan makin menyusutnya kekuatan-kekuatan sekuler-pragmatis yang pro-perdamaian dan sebaliknya kecenderungan menguatnya ortodoksi dari kelompok-kelompok keagamaan Yahudi di Israel, merupakan indikator serius makin suramnya prospek perdamaian Israel-Palestina. Sementara secara internal Israel, sikap politik yang tidak pernah konsisten tersebut telah menyebabkan stabilitas keamanan dalam negeri Israel akan senantiasa menghadapi ancaman serius dari pejuang Palestina, yang berhaluan keras.
This study analyzes association between increasingly strong position and influence of Jewish based parties with tendency of more repressive and inconsistent political policy of Israel toward Palestine. It also analyzes impact resulted from the condition on Israel's domestic security and Israel-Palestine peace prospect. Result of study indicated that, post Oslo Agreement Israel's political policy tow ard Palestine was more repressive. The repressive policy is influenced by pressure done by religious parties that after 1992 election indicate improves influence and mass supporting basis, either in grassroots level or in bureaucratic level. The significant position of religious parties in parliament made them dominate Knesset and determine pass or not governmental policy, including peace process with Palestine. Pressure form alliance of Jewish based-parties result in PM Shimon Peres administration took policy to stop temporary realization of Oslo agreement, such as agreed in Yitzhak Rabin administration. In period of PM Benjamin Netanyahu administration, Israel changed negotiation formula that previously having principle of land for peace to be land for security, resistance to content of Oslo agreement and freezing of Wye Plantation agreement, and rejecting solving model of Jewish settlement in Hebron done by previous administration. Meanwhile, alliance of Jewish religious parties has also inhibited (through un-trust vote in knesset) a desire of PM Barak involved in Camp David II Summit. Fall of Shas Party, Yisrael B’aliya and NRP from PM Barak Government coalition let to fall of laborer party government. Represiveness of Israel Policy culminated in the administration of PM Ariel Sharon when he got support from alliance of religious parties and laborer party. The other tendency is inconsistent Israel’s politic policy. The governmental policy is labile. Plat form difference, party ideology difference, and dilemma resulting from ideology consideration in, one side and interest consideration, in other side are positive factor toward inconsistency of Israel’s politic policy over Palestine. The study indicated political configuration and condition in Israel, by decreased tendency of pro-peace secular -pragmatic strength and, in contrary, increase orthodoxy of Jewish religious group in Israel. The condition is indicator of worse prospect of Israel-Palestine peace. Meanwhile, in Israel internal condition, politic attitude that have never been consistent have result in security stability in Israel will always face serious threat from Palestinian fighter.
Kata Kunci : Politik Israel,Palestina,Kesepakatan Oslo 1993, Israel’s Politic, Palestine, Post Oslo Agreement