Gerakan-Populisme Islam di Yogyakarta: Dinamika Kelas dan Suprlus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran
FARIZ AZHAMI AHMAD, Dr. Arie Sujito
2025 | Skripsi | Sosiologi
Gerakan populisme Islam kerap kali dianggap sebagai ancaman di dalam masyarakat karena kecenderungannya ke arah rasisme dan aktivitas vigilante yang kerap terjadi di berbagai tempat. Kemunculan gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari prakondisi ekonomi yang ada. Secara singkat, gerakan ini menjadi salah satu bentuk respons atas ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi yang berjalan. Penelitian-penelitian sebelumnya cenderung menggambarkan kemunculan gerakan populisme Islam hanya berkaitan dengan behavior, budaya, lemah dan kuatnya institusi yang cenderung mengabaikan struktur ekonomi kapitalisme yang berperan dalam membentuk ketimpangan dan kerentanan. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa anggota dan simpatisan organisasi masyarakat Islam dan studi pustaka literatur-literatur terkait. Dengan menggunakan pendekatan kritis, penelitian ini mencoba untuk mengungkap kemunculan gerakan populisme Islam di Yogyakarta. Penelitian ini menunjukkan, dalam konteks Yogyakarta, populisme Islam menawarkan narasi anti-elit dan kritik terhadap tatanan ekonomi-politik yang dianggap menguntungkan segelintir kelompok. Pembangunan yang bersifat kapitalistik di Yogyakarta dengan mengandalkan ekonomi informal dan deindustrialisasi yang dibarengi dengan narasi kota wisata telah menghasilkan surplus pekerja yang berada dalam kondisi rentan. Sebagai dampak dari melimpahnya pekerja dan dominannya sektor informal, kerentanan ini dialami oleh baik kelas pekerja maupun produsen kecil komoditas. Dalam konteks ini, surplus pekerja yang mengalami kerentanan ekonomi sering kali melihat gerakan populisme Islam sebagai wadah perjuangan melawan ketidakadilan. Bahasa Islam dianggap cocok dan mampu untuk menggerakkan amarah massa. Namun, alih-alih menawarkan solusi struktural, gerakan populisme Islam sering kali terjebak dalam kontradiksi internal karena aliansi multikelas dan multiorganisasi di dalamnya. Koalisi lintas kelas yang didorong oleh retorika identitas agama yang melibatkan berbagai kelompok terdidik hingga pekerja informal di perkotaan menggunakan retorika bahasa umat dan mengutamakan perlawanan terhadap elit sebagai musuh bersama. Di lain sisi, fragmentasi akibat banyaknya organisasi yang terlibat di dalam gerakan Islam juga menyebabkan terpecahnya gerakan ini. Ketidakmampuan membaca situasi ekonomi dan politik secara kritis membuat gerakan populisme Islam hari ini terjebak pada retorika-retorika yang bersifat kultural dan melekat pada identitas. Hal ini yang kemudian mendorong banyaknya kekerasan terhadap kelompok identitas minoritas yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam.
The Islamic populism movement is often perceived as a threat in society due to its tendencies toward racism and vigilante activities, which frequently occur in various places. The emergence of this movement cannot be separated from the prevailing economic conditions. In short, this movement serves as a form of response to dissatisfaction with the existing economic system. Previous studies have predominantly portrayed the rise of Islamic populism as being associated with behavior, culture, and the strength or weakness of institutions, often neglecting the role of capitalist economic structures in shaping inequality and vulnerability. This study was conducted through in-depth interviews with several members and sympathizers of Islamic civil society organizations, along with a literature review of relevant studies. Using a critical approach, this research seeks to uncover the emergence of Islamic populism in Yogyakarta. The findings indicate that, in the context of Yogyakarta, Islamic populism offers an anti-elite narrative and critiques the economic-political order that is perceived to benefit only a small group of elites. The capitalist-driven development in Yogyakarta, which relies on the informal economy and deindustrialization alongside the narrative of a tourist city, has resulted in a surplus of workers in precarious conditions. As a consequence of this surplus labor and the dominance of the informal sector, both the working class and petty commodity producers experience economic vulnerability. In this context, surplus workers facing economic precarity often see the Islamic populism movement as a platform for fighting against injustice. The language of Islam is perceived as an effective means to mobilize mass anger. However, rather than offering structural solutions, the Islamic populism movement frequently finds itself trapped in internal contradictions due to its multi-class and multi-organizational alliances. The cross-class coalition, driven by religious identity rhetoric and involving various groups—from educated elites to urban informal workers—utilizes the discourse of the "ummah" and prioritizes opposition against the elite as a common enemy. On the other hand, fragmentation due to the large number of organizations involved in the Islamic movement also contributes to the division of this movement. The inability to critically analyze economic and political conditions has led Islamic populism today to be confined to rhetoric that is primarily cultural and identity-based. This, in turn, has fueled the rise of violence against minority identity groups perpetrated by Islamic organizations.
Kata Kunci : Populisme Islam, surplus pekerja, kapitalisme pinggiran, dinamika kelas