Politics of Memory and Cultural Diplomacy: Navigating Reconciliation in Postcolonial Relations between Indonesia and the Netherlands
Bandoro Raden Ajeng Kusuma Maharani, Dr. Muhammad Rum; Drs. Muhadi Sugiono, MA; Dr. Rochdi Mohan Nazala
2025 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional
Skripsi ini mengeksplorasi keterkaitan antara diplomasi budaya dan politik memori dalam menangani ketidakadilan sejarah serta mendorong rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda di era pascakolonial. Skripsi ini menelaah bagaimana repatriasi warisan budaya berperan sebagai alat untuk merebut kembali identitas sekaligus sebagai mekanisme transformasi diplomatik, yang turut berkontribusi pada proses keadilan pascakolonial yang lebih luas. Dengan mengakui luka sejarah Indonesia dan mengembalikan artefak budaya, Belanda menunjukkan kesediaan untuk menghadapi masa lalu kolonialnya dan terlibat dalam dialog pascakolonial yang lebih adil. Bagi Indonesia, pengembalian artefak tersebut memulihkan kesinambungan budaya, menghidupkan kembali tradisi, dan menegaskan kembali kedaulatan atas narasi sejarahnya, memperkuat peran Indonesia sebagai agen aktif dalam membentuk masa lalu dan masa depannya. Berdasarkan teori politik memori dan diplomasi budaya, skripsi ini berargumen bahwa rekonsiliasi membutuhkan lebih dari sekadar permintaan maaf; ia menuntut tindakan nyata yang melibatkan memori kolektif, membentuk ulang persepsi publik, dan menantang warisan kolonial. Dengan menganalisis inisiatif budaya Indonesia, seperti pameran bersama, program edukatif, dan peringatan publik, skripsi ini menekankan bagaimana sejarah bersama dapat dimanfaatkan untuk mendorong saling pengertian, menyembuhkan luka sejarah, dan menciptakan hubungan bilateral yang setara. Skripsi ini juga mengkaji bagaimana repatriasi dan diplomasi budaya menantang narasi warisan yang berpusat pada Eropa, menggeser dinamika kekuasaan dalam produksi pengetahuan sejarah, dan memperkuat agensi budaya negara-negara yang pernah dijajah. Dengan demikian, skripsi ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang politik memori sebagai alat rekonsiliasi pascakolonial, dengan diplomasi budaya sebagai tujuan utama, serta menempatkan kasus Indonesia-Belanda sebagai model dalam menangani warisan kolonial melalui politik memori dan restitusi budaya. Skripsi ini menunjukkan bagaimana integrasi antara warisan budaya dan memori dalam praktik diplomatik dapat mengubah hubungan yang dibentuk oleh eksploitasi menjadi kemitraan yang didasarkan pada rasa hormat, empati, dan tanggung jawab sejarah bersama.
This thesis explores the interplay between cultural diplomacy and the politics of memory in addressing historical injustices and fostering reconciliation between Indonesia and the Netherlands in the postcolonial era. It examines how cultural heritage repatriation serves as both a tool of identity reclamation and a mechanism for diplomatic transformation, contributing to the broader process of postcolonial justice. By acknowledging Indonesia’s historical grievances and returning cultural artifacts, the Netherlands signals a willingness to confront its colonial past and engage in a more equitable postcolonial dialogue. For Indonesia, the repatriation of these artifacts restores cultural continuity, revitalizes traditions, and reasserts sovereignty over its historical narrative, reinforcing its role as an active agent in shaping its past and future. Grounded in the theories of the politics of memory and cultural diplomacy, this thesis argues that reconciliation requires more than apologies; it demands tangible actions that engage with collective memory, reshape public perceptions, and challenge colonial legacies. By analyzing Indonesia’s cultural initiatives, such as joint exhibitions, educational programs, and public commemorations, the thesis underscores how shared histories can be leveraged to promote mutual understanding, heal historical wounds, and create equitable bilateral relationships. It further examines how repatriation and cultural diplomacy challenge traditional Eurocentric narratives of heritage ownership, shifting the power dynamics of historical knowledge production and reinforcing the cultural agency of formerly colonized nations. This thesis contributes to a deeper understanding of politics of memory as a tool for postcolonial reconciliation with cultural diplomacy as the main goal, positioning the Indonesia-Netherlands case as a model for addressing colonial legacies through memory politics and cultural restitution. It demonstrates how integrating cultural heritage and memory into diplomatic practice can transform relationships shaped by exploitation into partnerships based on respect, empathy, and shared historical accountability.
Kata Kunci : cultural diplomacy, politics of memory, Indonesia, Netherlands, artifact repatriation, reconciliation, postcolonial relations, heritage restitution.