Laporkan Masalah

Pemantauan Stabilitas Caga Budaya di Yogyakarta dan Sleman Menggunakan INSAR pada Tahun 2017 dan 2022

SWILFRED GABRIEL DAMANIK, Prof. Dr. Ir. Harintaka, S.T., M.T., IPU, ASEAN Eng.

2025 | Skripsi | TEKNIK GEODESI


Yogyakarta dan Sleman merupakan daerah wisata yang memiliki bangunan cagar budaya dengan nilai historis dan budaya yang tinggi bagi Indonesia. Tiga bangunan cagar budaya utama, yaitu Kraton Ngayogyakarta, Museum Gunungapi Merapi, dan Candi Prambanan, perlu dijaga keberlangsungannya. Namun, gempa bumi yang terjadi pada tahun 2017 dan 2022 dengan pusat gempa di tenggara Bantul dan selatan Wedi berpotensi mengancam kestabilan bangunan tersebut. Gempa berkekuatan 4,2 SR dan 4,8 SR dengan kedalaman masing-masing 10 km dan 149,95 km menunjukkan bahwa fenomena ini perlu mendapat perhatian lebih. Oleh karena itu, diperlukan perekaman data dan pemantauan yang efisien berbasis penginderaan jauh untuk memastikan bangunan cagar budaya tetap stabil.

Penelitian ini menggunakan metode INSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) dengan citra satelit Sentinel-1 yang didukung oleh data spasial lainnya. Dua teknik utama yang digunakan adalah SBAS (Small Baseline Subset) dan PSI (Persistent Scatter Interferometry) untuk menganalisis pergerakan tanah. Penelitian ini mencakup pemilihan area kajian, periode waktu, serta pengolahan citra Sentinel-1. Tahapan analisis dimulai dengan instalasi dan persiapan modul Python, proses Align Images untuk menyelaraskan citra, dan Geocoding Transform untuk mengonversi data radar menjadi koordinat geografis. Baik SBAS maupun PSI melalui tahap analisis yang serupa, seperti unwrapping fase, koreksi tren, serta pemodelan perpindahan menggunakan Least-square Model dan STL Model. Evaluasi akurasi dilakukan dengan RMSE, kemudian dibandingkan kelebihan, kekurangan, serta hasil pergerakan tanah dari masing-masing metode.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2017, Kraton Ngayogyakarta mengalami pergerakan tanah antara -76,18 mm hingga 89,48 mm (SBAS) dan -119,13 mm hingga 116,75 mm (PSI), dengan pola serupa yang terjadi pada Candi Prambanan dan Museum Gunungapi Merapi. Pada tahun 2022, deformasi di Kraton berkisar antara -55,57 mm hingga 73,05 mm (SBAS) dan -90,71 mm hingga 74,39 mm (PSI), dengan pola yang masih konsisten di lokasi lainnya. Analisis rasio frekuensi menunjukkan bahwa indeks kelembapan topografi (TWI) paling memengaruhi stabilitas Kraton, jarak rel kereta berpengaruh terhadap Candi Prambanan, dan elevasi berpengaruh pada Museum Gunungapi Merapi. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pemantauan berkelanjutan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dalam upaya menjaga kestabilan bangunan cagar budaya.

Kata kunci : INSAR, Cagar Budaya, Pergerakan Tanah, Sentinel-1, Deformasi


Yogyakarta and Sleman are well-known tourist areas with significant cultural heritage sites in Indonesia. Three major cultural heritage buildings—Kraton Ngayogyakarta, the Merapi Volcano Museum, and Prambanan Temple—hold immense historical and cultural value, requiring continuous preservation. However, earthquakes recorded in 2017 and 2022, with epicenters southeast of Bantul and south of Wedi, posed potential threats to these structures. These earthquakes, measuring 4.2 SR and 4.8 SR at depths of 10 km and 149.95 km, respectively, highlight the need for systematic monitoring. To ensure the stability of these cultural heritage buildings, it is crucial to conduct data recording and efficient remote sensing-based monitoring.

This study employs the INSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) method using Sentinel-1 satellite imagery, combined with other spatial data. Two key techniques, SBAS (Small Baseline Subset) and PSI (Persistent Scatter Interferometry), are applied to analyze ground displacement. The research involves defining the study area, selecting timeframes, and processing Sentinel-1 imagery. The workflow includes installing and preparing Python modules, aligning images, and applying the Geocoding Transform to convert radar data into geographic coordinates. Both SBAS and PSI undergo similar analytical stages, including phase unwrapping, trend correction, and displacement modeling using Least-square and STL Models. Accuracy is evaluated using RMSE, followed by a comparative analysis of the strengths, weaknesses, and results of each method.

The results indicate that in 2017, Kraton Ngayogyakarta experienced ground displacement ranging from -76.18 mm to 89.48 mm (SBAS) and -119.13 mm to 116.75 mm (PSI), with Prambanan Temple and the Merapi Museum showing similar trends. In 2022, the Kraton’s deformation ranged from -55.57 mm to 73.05 mm (SBAS) and -90.71 mm to 74.39 mm (PSI), maintaining a consistent pattern across sites. Frequency ratio analysis identified that the Topographic Wetness Index (TWI) most significantly influenced Kraton stability, railway distance impacted Prambanan Temple, and elevation affected the Merapi Volcano Museum. These findings highlight the importance of continuous monitoring and advanced remote sensing techniques to preserve cultural heritage structures.

Keywords : INSAR, Cultural Heritage, Ground Movement, Sentinel-1, Deformation

Kata Kunci : INSAR, SBAS, PSI, Cagar Budaya, Sleman, Yogyakarta, Sentinel-1, Deformasi

  1. S1-2025-463338-abstract.pdf  
  2. S1-2025-463338-bibliography.pdf  
  3. S1-2025-463338-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2025-463338-title.pdf