An Autopsy of the Supreme Act of Infanticide: How Woodrow Wilson Saved the Kaiser from Judicial Punishment, Killed the Treaty of Versailles, and Broke the Heart of the World
Dylan Jesse Andrian, André Klip; Craig Eggett; Diantika Floranti; Wahyu Santoso
2025 | Skripsi | ILMU HUKUM
Makalah ini mengkaji perjalanan hukum dan politik dari Pasal 227 Traktat Versailles, ketentuan yang ditujukan untuk mengadili Kaiser Wilhelm II atas “pelanggaran tertinggi terhadap moralitas internasional dan kesucian perjanjian.” Dengan fokus pada perspektif Amerika Serikat, tulisan ini mengeksplorasi bagaimana perpecahan internal dalam delegasi AS, diplomasi idealistik namun kaku dari Presiden Woodrow Wilson, serta konservatisme hukum dari Menteri Luar Negeri Robert Lansing, semuanya berkontribusi terhadap lemahnya ketentuan tersebut. Berdasarkan sumber-sumber primer seperti buku harian, korespondensi, dan catatan resmi, penelitian ini menelusuri evolusi posisi Amerika sejak awal pembahasan dalam Komisi Penanggung Jawab hingga perundingan Dewan Empat, perumusan akhir, dan kegagalan implementasi Pasal 227. Analisis ini menantang pandangan umum yang menganggap Pasal 227 sebagai mekanisme yudisial, dan justru menafsirkannya sebagai konsesi politik untuk meredakan opini publik tanpa kekuatan hukum nyata. Pada akhirnya, makalah ini berargumen bahwa sikap ambigu Amerika dan konflik politik domestik tidak hanya melemahkan Pasal 227, tetapi juga menyebabkan kegagalan lebih luas dari ratifikasi Traktat Versailles di Amerika—suatu peristiwa yang digambarkan oleh para sezaman sebagai “tindakan infantisida tertinggi” dari Wilson. Dengan menyoroti peran Amerika dalam kegagalan ini, tulisan ini memberikan wawasan penting mengenai keterbatasan awal keadilan internasional dan hubungan kompleks antara hukum, moralitas, dan kekuasaan dalam tatanan pasca-perang.
This paper investigates the legal and political trajectory of Article 227 of the Treaty of Versailles, the provision intended to prosecute Kaiser Wilhelm II for a "supreme offence against international morality and the sanctity of treaties." Focusing on the American perspective, it explores how internal divisions within the U.S. delegation, President Woodrow Wilson’s idealistic yet rigid diplomacy, and Secretary of State Robert Lansing’s legal conservatism contributed to the article’s eventual impotence. Drawing on primary sources, including diaries, correspondence, and official records, the study traces the evolution of the American position from early deliberations of the Commission on Responsibilities through the Council of Four negotiations, to the final drafting and failed implementation of Article 227. The analysis challenges prevailing interpretations that portray Article 227 as a judicial mechanism, instead framing it as a political concession meant to appease public sentiment without legal substance. Ultimately, the paper argues that American ambivalence and domestic political infighting not only gutted Article 227 of enforceable content but also precipitated the broader collapse of the Treaty of Versailles in the United States—an outcome described by contemporaries as Wilson’s “supreme act of infanticide.” By illuminating the American role in this failure, the paper offers critical insight into the early limitations of international justice and the complex interplay between law, morality, and power in the postwar order.
Kata Kunci : Artikel 227, Traktat Versailles, Woodrow Wilson, Kaiser Wilhelm II, hukum internasional, kekebalan kepala negara, keadilan internasional, diplomasi Amerika, Dewan Empat, Komisi Penanggung Jawab.