Otonomi Kekerabatan: Who Decides Vaccine Acquisition During the COVID-19 Era?
Marcellino Bryan Budisaputra, Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA.; Dr. Carolus Boromeus Kusmaryanto, SCJ.
2025 | Skripsi | PENDIDIKAN DOKTER
Latar Belakang: Otonomi merujuk kepada kemampuan seseorang untuk bebas bertindak dan membuat keputusan berdasarkan nilai dan kepentingan sendiri. Ketika beranjak dewasa, seseorang mendapatkan otonomi legal, yang membuat mereka berhak untuk membuat keputusan yang sesuai dengan wewenang secara independen. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku untuk berbagai negara, terutama di Asia dan Afrika, dimana ideologi dan budaya komunitarian tertanam dengan kuat. Di tempat-tempat tersebut, proses pembuatan keputusan sering melibatkan pihak lain dan bahkan terkadang diwakilkan oleh orang lain. Hal ini disimpulkan dalam istilah otonomi kekerabatan atau bisa juga diartikan sebagai otonomi relasional. Ideologi ini dapat dilihat di keseharian masyarakat Indonesia, bahkan memperluas ke keputusan terkait kesehatan seperti penentuan untuk mendapatkan atau tidak menerima vaksin.
Tujuan: Menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang dan pembuat keputusan terakhir dalam pilihan untuk menerima atau tidak menerima vaksin COVID-19, dan dalam prosesnya, mengerti kebutuhan untuk mengimplementasi program kesehatan yang sukses di Indonesia.
Metode: Studi ini ditargetkan pada masyarakat yang menetap di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 2020-2022. Studi menggunakan metode riset cross-sectional kuantitatif, melalui kuesioner dalam bentuk google form yang menanyakan latar belakang, data vaksinasi, pembuat keputusan dalam pilihan untuk menerima atau tidak menerima vaksin, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut.
Hasil: Mayoritas responden (57.8%) membuat keputusan sendiri terkait vaksin COVID-19. Analisis bivariabel menunjukkan bahwa kelompok umur (p=0.005), jenis kelamin (p=0.041), status pernikahan (p=0.035), pekerjaan (p=0.009), riwayat infeksi (p=0.003), dan jumlah dosis yang diterima (p=0.01) memiliki dampak signifikan terhadap pembuat keputusan. Sedangkan, tingkat pendidikan (p=0.748), latar belakang kesehatan (p=0.13), dan riwayat vaksinasi (p=0.492) tidak menunjukan dampak signfikan terhadap pembuat keputusan.
Kesimpulan: Studi ini menunjukan meskipun pembuat keputusan mengenai vaksin COVID-19 di Yogyakarta cendurung merupakan diri sendiri, konsep otonomi kekerabatan masih dicerminkan melalui hasil penemuan. Faktor seperti umur, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan yang secara tradisional memegang kepentingan dalam peran dan otoritas menunjukkan dampak signifikan dalam pembuat keputusan sedangkan faktor seperti tingkat pendidikan dan latar belakang kesehatan yang lebih mencerminkan nilai pribadi seseorang tidak berdampal signifikan. Akan tetapi, faktor terkait pengalaman pribadi dengan situasi seperti riwayat infeksi dan jumlah dosis yang diterima menunjukkan dampak signifikan, indikatif bahwa pengetahuan terkair keamanan dan risiko dapat melemahi dampak otonomi kekerabatan. Penemuan ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan sensitivtias budaya, serta pendekatan secara komunal dalam implementasi program kesehatan di Indonesia dan komunitas dengan budaya yang serupa.
Background: Autonomy refers to the ability of an individual to freely act and make decisions based on one’s own values and interests. Upon reaching adulthood, an individual gains legal autonomy, which entitles them to independently make decisions that are subject to the law. The same cannot be said, however, for many nations, particularly in Asia and Africa, where communitarian culture and ideals are strongly ingrained. In such places, the decision-making process frequently involves other people and occasionally may even be represented by a different individual. Thus, coining the term otonomi kekerabatan, which can be loosely translated to relational autonomy. This ideology is one that comes into play in everyday Indonesian society, extending into healthcare decisions such as the decision of vaccine acquisitions.
Purpose of Study: To examine the various factors that influence an individual's decision and the final decision maker in whether or not they acquired the COVID-19 vaccine, and in doing so, understand the requirements to implement a successful healthcare program in Indonesia.
Method: This study was aimed towards individuals residing in Daerah Istimewa Yogyakarta during the 2020-2022 period. It was conducted using a quantitative cross-sectional research method, through a google form questionnaire inquiring their background information, vaccination data, the decision maker in whether or not they acquired the COVID-19 vaccine, and the factors that influenced the decision-making process.
Results: Most of the respondents (57.8%) made their own decision concerning the COVID-19 vaccine. Bivariable analysis showed that age group (p=0.005), sex (p=0.041), marital status (p=0.035), occupation (p=0.009), history of infection (p=0.003), and the number of doses acquired (p=0.01) significantly influenced the decision-making authority. However, education level (p=0.748), healthcare background (p=0.13), and history of vaccination (p=0.492) did not have a statistically significant impact on the decision-maker.
Conclusion: This study highlighted that while the decision-maker for COVID-19 vaccinations in Yogyakarta were mostly made by the individuals themselves, the concept of otonomi kekerabatan is still reflected in the findings of the study. Factors such age, sex, marital status, and occupation which traditionally hold significance towards their role and authority showed a significant influence in the decision-maker while factors such as education level and healthcare background which reflect more on their personal value did not. However, factors relating to personal experience and familiarity with the situation such as history of COVID-19 infection and the number of vaccine doses acquired did show a significant influence, indicating that personal knowledge in terms of safety and risk could weaken the hold of otonomi kekerabatan. These findings call attention to the importance of cultural awareness and sensitivity, as well as a more communal approach in the implementation of health programs in Indonesia and other communities with like cultures.
Kata Kunci : otonomi kekerabatan, communitarian culture, decision-maker, vaccine