“Agama Khonghucu bukan Agama Cina" A Critical Analysis on Media Study of Confucian Identity during New Order
Yohanes Babtista Lemuel Christandi, Evi Lina Sutrisno, PHD; Prof. Frans Wijsen
2024 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya
Latar Belakang: Agama Khonghucu mendapat pengakuan kembali oleh negara pada pasca-reformasi. Adapun selama masa Orde Baru, pemerintah menerapkan aturan yang bersifat diskriminatif dan represif terhadap kebudayaan Tionghoa, termasuk Agama Khonghucu. Adapun wacana dominan dari pemerintah juga meliputi tentang kategori agama dan kepercayaan. Di sisi lain, pemerintah sangat mengawasi wacana-wacana yang beredar di masyarakat dengan pembungkaman media-media. Alhasil, Agama Khonghucu mengalami tekanan dari dua macam wacana dominan yakni afiliasinya dengan kebudayaan Tionghoa dan bahwa Agama Khonghucu adalah falsafah hidup.
Kesenjangan Penelitian: Para peneliti telah banyak mengulas tentang diskriminasi yang dialami oleh komunitas Agama Khonghucu. Namun, pendalaman tentang fenomena diskriminatif ini berakar pada analisa tentang pergulatan wacana identitas di dalam publikasi internal dan bagaimana wacana dominan yang terdapat dalam kebijakan pemerintah itu direproduksi dalam publikasi internal komunitas Khonghucu.
Tujuan Penelitian: Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan konstruksi identitas Khonghucu di dalam publikasi internal komunitas selama masa Orde Baru. Di tengah dominasi wacana dan pengawasan yang ketat terhadap media, konstruksi wacana identitas Khonghucu tetap terjadi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis dari Norman Fairclough yang dikombinasikan dengan metode penelitian wacana dalam agama oleh Von Stuckrad. Di sini media ditempatkan sebagai agen dan juga medium dari komunitas sebagaimana diuraikan oleh Pierre Bourdieu sebagai landasan teori dari penelitian ini. Alat-alat penelitian yang dipakai berupa 3 level dimensi wacana (micro-meso-macro), 3 tahap analisis (deskriptif, interpretatif, dan penjelasan), serta pergerakan wacana di media yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Hasil: Maka, konstruksi identitas khonghucu di masa Orde Baru meliputi 2 hal. Pertama, konstruksi identitas khonghucu sebagai agama dan kesamaannya dengan agama-agama lain yang tercermin dalam andil mereka dalam kehidupan harmonis antar umat beragama. Kedua, konstruksi identitas khonghucu yang sangat berhubungan dengan identitas keindonesiaan, bahwa menjadi orang khonghucu justru meningkatkan rasa nasionalisme sebagaimana hal itu diajarkan dalam agama khonghucu sendiri. Disini, media berperan mengatur wacana di komunitas.
Background: After the Reformation, the state re-recognized Agama Khonghucu. The New Order discriminated against Chinese culture, especially Confucianism, and repressed it. The mainstream government rhetoric involves religion and belief. In contrast, the government silences the media to monitor social discourses. Therefore, Confucianism faced discrimination from two main discourses: its link with Chinese culture and that it is a philosophy of life.
Research Gap: Confucian discrimination has been extensively studied by scholars. Nevertheless, this thesis's in-depth study is based on looking at the identity discourse conflict between Confucian community publications and the reproduction of dominant government policy discourse.
Research Objective: This thesis examines how community newspapers during the New Order shaped Confucian identity. Despite discourse domination and media supervision, Confucian identity discourse is constructed. Method: This study uses Norman Fairclough's Critical Discourse Analysis and Von Stuckrad's religious discourse research. This study follows Pierre Bourdieu's theory of media as an agent and channel for the community. Three discourse dimensions (micro, meso, and macro), three analytical stages (description, interpretation, and explanation), and media discourse movement (production, distribution, and consumption) were used for the study.
Results: Two things were built into Confucian identity during the New Order. First, Confucian identity as a religion emphasizes its parallels to other religions, which promote religious harmony. Second, Confucian identity is directly tied to Indonesian identity; being a Confucian strengthens nationalism as taught in the religion. The media regulates community debate here.
Kata Kunci : Agama Khonghucu , New Order, CDA, Media, Power Relations