Analisis Pengaruh Konteks Budaya Yogyakarta Terhadap Progresivitas Kesetaraan Gender (Studi di Kabupaten Gunungkidul dan Kota Yogyakarta)
Anis Nur Fadhilah, Dr. Ambar Widaningrum, M.A.
2025 | Tesis | S2 Administrasi Publik
Kesetaraan gender
merupakan fondasi yang vital dalam menciptakan suatu masyarakat yang adil dan
berkelanjutan. Berdasarkan data statistika 2022 Kota Yogyakarta memiliki Index
Pembangunan Gender (IPG) tertinggi di Indonesia yaitu 94,88. Sementara, dengan
provinsi yang sama Kabupaten Gunung Kidul memiliki IPG 85,25 merupakan angkat
IPG terendah di provinsi Yogyakarta. Di sisi lain Yogyakarta menjadi terkenal
sebagai salah satu pusat kebudayaan di Indonesia, dengan berbagai warisan
budaya yang masih hidup hingga saat ini. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
mengetahui pengaruh konteks budaya terhadap progresivitas kesetaraan gender dan
mengetahui indikator-indikator apa saja yang memiliki pengaruh besar terhadap
perbedaan kesetaraan gender antara Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul. Metode penelitian ini menggunakan metode
statistika regresi linier untuk mengetahui besaran pengaruh secara total atau
parsial dan t-test independen untuk mengetahui indikator-indikator yang
memiliki pengaruh besar berbasis dua jenis wilayah. Penelitian ini memberikan
hasil yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh konteks budaya terhadap Kesetaraan
gender, secara total 70% secara parsial: Kota Yogyakarta 63%, Kabupaten Gunung
Kidul 76%. Indeks pengaruh konteks budaya terhadap setiap indikatornya adalah,
nilai 65%, norma 44%, tradisi 63% (tidak signifikan), dan faktor-faktor
pembentuk konteks budaya 67%. Indikator faktor-faktor pembentuk menjadi
indikator yang memiliki pengaruh paling besar. Dengan pengumpulan data secara
kualitatif yang menjadi perbedaan paling besar antara Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Gunung Kidul antara lain: Pendidikan, ekonomi/karir, media dan
teknologi, dan struktur sosial. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kesetaraan
gender lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti akses pendidikan dan
ekonomi yang lebih terbuka di Kota Yogyakarta, sementara di Kabupaten Gunung
Kidul, faktor budaya dan norma sosial yang lebih kental memainkan peran yang
lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan budaya yang lebih terbuka
dan adaptif terhadap perubahan zaman dapat mempercepat tercapainya kesetaraan
gender, terutama jika didukung oleh akses terhadap pendidikan dan teknologi
yang lebih merata. Dengan ini diharapkan, pemerintah di Kabupaten Gunung Kidul
dan Kota Yogyakarta untuk merancang kebijakan kesetaraan gender yang mendukung
partisipasi perempuan di berbagai sektor, dengan mempertimbangkan pengaruh
budaya lokal. Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan masyarakat, serta
intervensi berbasis konteks lokal, akan memperkuat perubahan norma sosial dan
mendukung kesetaraan gender melalui program pemberdayaan dan pendidikan.
Gender equality is a
vital foundation for creating a just and sustainable society. According to
statistical data from 2022, Yogyakarta City has the highest Gender Development
Index (GDI) in Indonesia at 94.88, while Gunung Kidul Regency in the same
province has the lowest GDI in Yogyakarta at 85.25. On the other hand,
Yogyakarta is known as one of the cultural centers of Indonesia, with various
cultural legacies still alive to this day. This study aims to determine the
impact of cultural context on the progress of gender equality and to identify
the key indicators that significantly affect the differences in gender equality
between Yogyakarta City and Gunung Kidul Regency. The research method used is
linear regression analysis to assess the total or partial impact, and
independent t-tests to identify significant indicators based on two different
regions. The results of this study show that there is an impact of cultural
context on gender equality, with a total impact of 70%, and partial impacts of
63% for Yogyakarta City and 76% for Gunung Kidul Regency. The cultural context
impact index on each indicator is as follows: values 65%, norms 44%, tradition
63% (not significant), and cultural context factors 67%. The cultural context
factors indicator had the largest influence. Qualitative data collection
revealed that the largest differences between Yogyakarta City and Gunung Kidul
Regency were in education, economy/career, media and technology, and social
structure. These differences suggest that gender equality is more influenced by
external factors such as access to education and open economic opportunities in
Yogyakarta City, while in Gunung Kidul Regency, cultural factors and stronger
social norms play a more significant role. This indicates that a more open and
adaptive cultural change, supported by equal access to education and
technology, can accelerate gender equality. It is hoped that the government in
Gunung Kidul Regency and Yogyakarta City will design gender equality policies
that support women's participation in various sectors, considering the
influence of local culture. Collaboration between the government, NGOs, and the
community, as well as context-based interventions, will strengthen changes in
social norms and support gender equality through empowerment and educational.
Kata Kunci : Kesetaraan Gender, Konteks Budaya, Perbedaan Wilayah, Faktor Pembentuk Budaya