Di Jawa Barat, jahe menempatkan posisinya sebagai komoditas biofarmaka dengan produksi kedua terbesar setelah komoditas kapulaga. Masterplan Perekonomian Kabupaten Bandung periode 2021-2026 menyebutkan salah satu strategi utama yang ingin diwujudkan adalah pengembangan klaster ekonomi unggulan di lokasi potensial, termasuk dalam sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki pertumbuhan positif (0,19%) sejak tahun 2020.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji persebaran kecamatan potensial komoditas jahe di Kabupaten Bandung; mendeskripsikan kondisi dan mekanisme rantai pasok komoditas jahe di Kabupaten Bandung; menganalisis keterkaitan spasial aliran produk komoditas jahe di Kabupaten Bandung; dan mengukur efisiensi kinerja rantai pasok komoditas jahe melalui pendekatan efisiensi pemasaran dan pengukuran kinerja secara holistik menggunakan dimensi dan indikator FSCN dan SCOR di Kabupaten Bandung. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan pengumpulan data produksi jahe dalam lima tahun terakhir (2019 – 2023) yang diukur menggunakan gabungan analisis location quotient dan differential shift share analysis, observasi lapangan dan indepth interview dengan para anggota rantai pasok yang disesuaikan untuk menjawab tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa enam kecamatan yaitu Pasirjambu, Kertasari, Cicalengka, Arjasari, Soreang, dan Cilengkrang memiliki potensi sebagai pusat produksi jahe di Kabupaten Bandung. Analisis kondisi dan mekanisme rantai pasok mengungkapkan peran pengepul yang dominan dalam menghubungkan petani dengan berbagai segmen pasar. Visualisasi keterkaitan spasial menunjukkan pola aliran produk, titik-titik pelaku dan jalur distribusi. Penilaian terhadap kinerja rantai pasok dilakukan terhadap dua entitas jahe putih, yaitu jahe gajah cina dan jahe paris/emprit. Margin pemasaran terkecil ada di saluran 3 sebesar Rp. 2.500 untuk jahe gajah cina dan Rp. 3.500 untuk jahe paris/emprit. Farmer’s share untuk jahe gajah cina pada saluran 1, 2, dan 3 berturut-turut mencapai 51,78%, 60,41%, dan 85,29%. Sementara itu, untuk jahe emprit/paris, farmer’s share pada saluran 1, 2, dan 3 berturut-turut tercatat sebesar 51,92%, 61,36%, dan 79,41%. Pemasaran kedua jenis jahe ini sudah tergolong efisien. Pada perhitungan holistik, pengepul dan pedagang besar memiliki kinerja terbaik (85.02?n 76.64%, kategori Good), sedangkan petani dan pengecer rata-rata (47.96?n 49.29%, kategori Average). Secara keseluruhan, rantai pasok dalam kategori Average (65.55%), membutuhkan peningkatan kolaborasi, transaksi, dan distribusi.
In West Java, ginger positions itself as a biopharmaceutical commodity with the second largest production after cardamom. The Bandung Regency Economic Masterplan for the 2021-2026 period states that one of the main strategies to be realized is the development of superior economic clusters in potential locations, including in the agricultural sector. The agricultural sector is one of the sectors that has had positive growth (0.19%) since 2020.
The main objectives of this study are to examine the distribution of potential sub-districts of ginger commodities in Bandung Regency; to describe the conditions and mechanisms of the ginger commodity supply chain in Bandung Regency; to analyze the spatial linkages of the flow of ginger commodity products in Bandung Regency; and to measure the efficiency of the performance of the ginger commodity supply chain through a holistic approach to marketing efficiency and performance measurement using FSCN and SCOR dimensions and indicators in Bandung Regency. To achieve this goal, ginger production data in the last five years (2019 – 2023) was collected which was measured using a combination of location quotient and differential shift share analysis, field observation and in-depth interviews with supply chain members that were adjusted to answer the research objectives.
The results of the study show that six sub-districts, namely Pasirjambu, Kertasari, Cicalengka, Arjasari, Soreang, and Cilengkrang, have the potential to be the center of ginger production in Bandung Regency. Analysis of supply chain conditions and mechanisms reveals the dominant role of collectors in connecting farmers with various market segments. Visualization of spatial linkages shows product flow patterns, actor points and distribution channels. The assessment of supply chain performance was carried out on two white ginger entities, namely Chinese elephant ginger and Paris/emprit ginger. The smallest marketing margin is in channel 3 of Rp. 2,500 for Chinese elephant ginger and Rp. 3,500 for paris/emprit ginger. Farmer's share for Chinese elephant ginger on channels 1, 2, and 3 reached 51.78%, 60.41%, and 85.29%, respectively. Meanwhile, for emprit/paris ginger, farmer's share on channels 1, 2, and 3 was recorded at 51.92%, 61.36%, and 79.41%, respectively. The marketing of these two types of ginger has been relatively efficient. In the holistic calculation, collectors and wholesalers had the best performance (85.02% and 76.64%, Good category), while farmers and retailers were average (47.96% and 49.29%, Average category). Overall, the supply chain in the Average category (65.55%), requires increased collaboration, transactions, and distribution.
Kata Kunci : Jahe, Rantai Pasok, Food Supply Chain Network, SCOR