“Saya Boleh Lapar, tapi Sapi-sapi Saya Jangan”: Kesejahteraan Hewan dalam Praktik Beternak Sapi di Kalurahan Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul
Afif Naufal Widiadi, Agus Indiyanto, S.Sos., M.Si.
2025 | Skripsi | ANTROPOLOGI BUDAYA
Penelitian ini mengkaji fenomena perlakuan istimewa terhadap sapi dalam
kebudayaan masyarakat Kalurahan Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul, serta
implikasi makna lokalnya terhadap pengelolaan ternak. Berdasarkan observasi
awal, peternak di wilayah ini cenderung mengoptimalkan pemeliharaan sapi
melalui penanaman pakan di pematang sawah, penggunaan lahan pertanian, dan
pembelian pakan saat musim kritis, meski harus berkorban secara ekonomi. Hal
ini tercermin dalam ungkapan khas seperti, “tidak mengapa saya menahan lapar,
yang penting sapi-sapi saya tidak lapar,? yang merepresentasikan nilai simbolik
sapi sebagai entitas bernilai tinggi. Melalui pendekatan kualitatif dengan analisis
tafsir simbolik-interpretif, penelitian ini mengidentifikasi makna lokal sapi yang
melampaui fungsi ekonomi. Hasil studi menunjukkan bahwa sapi diposisikan
sebagai bagian integral dari keluarga, dengan perawatan yang menginternalisasi
prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) secara intuitif. Konsep welas asih
(kasih sayang) menjadi landasan praktik pemeliharaan, di mana masyarakat
menerapkan lima kebebasan pokok hewan—seperti kebebasan dari rasa lapar dan
stres—tanpa pemahaman formal. Tradisi ini tidak hanya memperkuat ketahanan
pangan lokal, tetapi juga menciptakan sistem pengelolaan ternak yang adaptif
terhadap tantangan ekologis Gunungkidul. Implikasi temuan ini menegaskan
pentingnya integrasi kearifan lokal dalam kebijakan ketahanan pangan dan
pengelolaan sumber daya alam, sekaligus menyumbang perspektif baru dalam
antropologi simbolik terkait relasi manusia-ternak di masyarakat agraris.
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi pengembangan model
pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai kultural.
This study examines the cultural phenomenon of preferential treatment
toward cattle in the community of Karangrejek Village, Gunungkidul, and its
implications for local livestock management. Initial observations revealed that
farmers in this region prioritize cattle welfare through strategic practices such as
cultivating fodder on rice field borders, repurposing agricultural land, and
purchasing feed during critical seasons, despite economic sacrifices. This is
encapsulated in local expressions like, “It’s acceptable for me to endure hunger,
as long as my cattle are fed,” reflecting the symbolic value of cattle as culturally
sacred entities. Using a qualitative approach with symbolic-interpretive analysis,
this research decodes the localized meanings of cattle that transcend economic
utility. Findings indicate that cattle are perceived as family members, with care
practices intuitively aligning with the five freedoms of animal welfare—such as
freedom from hunger and distress—despite the absence of formal knowledge. The
principle of welas asih (compassion) underpins husbandry practices, fostering an
adaptive management system resilient to Gunungkidul’s ecological constraints.
These traditions not only enhance local food security but also demonstrate an
organic integration of cultural values and ecological sustainability. The study
highlights the necessity of incorporating local wisdom into food policy and
natural resource management, while contributing to symbolic anthropology by
recontextualizing human-livestock relationships in agrarian societies. By bridging
practical ethno-veterinary knowledge with formal animal welfare frameworks,
this research offers insights for developing culturally grounded sustainable
development models. Ultimately, it advocates for policy interventions that
recognize and leverage indigenous practices as catalysts for community
resilience.
Kata Kunci : sapi, makna lokal, kesejahteraan hewan. Gunungkidul, ketahanan pangan, tradisi, peternakan, gumbregan.