Resistensi Masyarakat Adat Terhadap Pembangunan Pariwisata Di Kampung Adat Naga Kabupaten Tasikmalaya
Abdul Salam, Dr. Dra. Ambar Teguh Sulistiyani, M.Si
2025 | Tesis | MAGISTER MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Penelitian ini mengkaji dan menganalisis resistensi dan konflik masyarakat adat terhadap pembangunan pariwisata di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian di fokuskan untuk menjelaskan dinamika resistensi dan konflik serta faktor-faktor yang menyebabkan resistensi dan konflik. Kampung Naga merupakan wilayah adat, dimana masyarakatnya masih memegang teguh adat dan tradisi lekuhur berupa pikukuh karuhun telah menjadi daya tarik wistawan. Pembangunan pariwisata di Kampung Naga menimbulkan resistensi dan konflik karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai adat dan pariwisata dipersepsikan sebagai aktivitas yang menjadikan adat sebagai tontonan, bukan tuntunan. Selain itu, komunikasi yang bersifat top-down dari pemerintah daerah, tanpa pelibatan aktif masyarakat adat, memperburuk ketegangan. Pemerintah berfokus pada penciptaan ruang-ruang ekonomi sedangkan masyarakat adat berfokus pada upaya pelestarian adat. Dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus, penelitian ini mengumpulkan data melalui observasi, wawancara dengan tokoh adat dan pemangku kepentingan, serta studi dokumentasi. Analisis data dilakukan menggunakan teknik Miles dan Huberman, yang mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika resistensi dan konflik masyarakat Kampung Naga berkembang dalam beberapa tahap, mulai dari pra-resistensi yang ditandai dengan ketidaksesuaian sasaran dan kepentingan serta muncunya ketidakpuasan laten dari kebijakan rencana pembangunan penginapan, penetapan sebagai kawasan wisata budaya serta rencana penataan kawasan Sanaga, konfrontasi yang muncul akibat penerapan retribusi parkir, hingga tahap krisis ketika pemerintah memaksakan penerapan tiket masuk dan membangun pos retribusi tanpa melibatkan masyarakat adat. Bentuk resistensi yang dilakukan meliputi penolakan verbal, aksi simbolik seperti pembakaran tiket masuk, pembongkaran pos retribusi, serta penutupan Kampung Naga bagi wisatawan. Pada tahap pasca-konflik, tercapai kesepakatan antara masyarakat adat dan pemerintah, seperti pengelolaan lahan parkir oleh koperasi adat, perubahan status Kampung Naga menjadi saung budaya, serta pengelolaan wisata oleh Himpunan Pramuwisata Kampung Naga (HIPANA). Penelitian ini mengungkap bahwa resistensi masyarakat adat terhadap pembangunan pariwisata bukan hanya persoalan ruang dan ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya menjaga integritas budaya dan sistem nilai yang mereka anut, menjaga situs kesejarahan, perbedaan kepentingan dan komunikasi yang buruk dari pemerintah memperburuk eskalasi konflik. Temuan ini memberikan kontribusi dalam kajian resistensi masyarakat adat serta menjadi rekomendasi bagi perumusan kebijakan pariwisata yang lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai lokal.
This research examines and analyzes the resistance and conflict of indigenous peoples towards tourism development in Kampung Naga, Tasikmalaya Regency. The research focuses on explaining the dynamics of resistance and conflict as well as the factors that cause resistance and conflict. Kampung Naga is a customary area, where the community still upholds the customs and traditions of the ancestors in the form of pikukuh karuhun has become an attraction for tourists. Tourism development in Kampung Naga has caused resistance and conflict because it is considered contrary to traditional values and tourism is perceived as an activity that makes customs a spectacle, not a guide. In addition, top-down communication from the local government, without the active involvement of indigenous communities, exacerbated tensions. The government focuses on creating economic spaces while indigenous communities focus on preserving adat. Using qualitative methods and a case study approach, this research collected data through observation, interviews with indigenous leaders and stakeholders, and documentation studies. Data analysis was conducted using the Miles and Huberman technique, which includes data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The results showed that the dynamics of resistance and conflict of the Kampung Naga community developed in several stages, starting from pre-resistance which was characterized by a mismatch of goals and interests as well as the emergence of latent dissatisfaction from the policy of the inn construction plan, the designation as a cultural tourism area and the Sanaga area arrangement plan, the confrontation that arose due to the implementation of parking fees, to the crisis stage when the government imposed the implementation of entrance tickets and built retribution posts without involving indigenous peoples. Forms of resistance include verbal rejection, symbolic actions such as burning entrance tickets, dismantling retribution posts, and closing Kampung Naga to tourists. In the post-conflict stage, an agreement was reached between the indigenous community and the government, such as the management of parking lots by customary cooperatives, changing the status of Kampung Naga to saung budaya, and tourism management by the Kampung Naga Tourist Association (HIPANA). This research reveals that indigenous peoples' resistance to tourism development is not only a spatial and economic issue, but also closely related to efforts to maintain the integrity of their culture and value system, maintain historical sites, differences in interests and poor communication from the government exacerbate conflict escalation. The findings contribute to the study of indigenous resistance and provide recommendations for the formulation of tourism policies that are more inclusive and based on local values.
Kata Kunci : Resistensi Masyarakat Adat, Pembangunan Pariwisata, Konflik, Kampung Naga