<![endif]-->) di masa damai pada tingkat global. Penelitian ini juga menginventarisasi berbagai macam penggunaan dan pengembangan AI serta menganalisis regulasi ideal yang seharusnya diterapkan pada tingkat global agar AI tidak menimbulkan kerugian bagi manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Saat ini belum ada aturan hukum maupun kesepahaman yang seragam antara negara maupun organisasi internasional terkait kecerdasan buatan. Oleh karena itu, diperlukan peran organisasi yang memiliki kapasitas dan cakupan luas, seperti PBB<!--[if supportFields]> TA \s "PBB" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->, untuk menyatukan perbedaan pandangan yang ada. Peran PBB sangat penting dalam menentukan batasan pengembangan dan penggunaan AI agar tidak membahayakan manusia, tidak mengambil keputusan esensial dalam kehidupan manusia, serta memastikan bahwa AI dikembangkan demi keberlanjutan hidup manusia. PBB dapat mencegah risiko yang ditimbulkan oleh AI, seperti ancaman terhadap privasi, keamanan, dan diskriminasi, serta memastikan distribusi manfaat AI secara adil di antara negara-negara. Aturan hukum yang dibentuk oleh PBB ke depannya harus mempromosikan transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan negara berkembang, guna mengurangi kesenjangan teknologi dan mendorong inovasi yang bertanggung jawab. Secara ideal, penggunaan dan pengembangan AI perlu memperhatikan tiga prinsip pokok: pertama, AI tidak boleh mengambil keputusan yang berdampak langsung terhadap manusia; kedua, pengguna dan pengembang bertanggung jawab secara hukum atas tindakan AI; dan ketiga, pengembangan AI harus bertujuan untuk kemaslahatan manusia serta melarang pengembangan AI dengan teknologi senjata (non-proliferasi). This study aims to describe the role of the United Nations in establishing legal certainty by regulating the restrictions on the use and development of artificial intelligence (AI<!--[if supportFields]> TA \s "AI" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->) during peacetime at a global level. It also seeks to inventory the various uses and developments of AI and analyze the ideal regulatory framework that should be applied globally to prevent AI from causing harm to humanity. The research method used is juridical-normative. Currently, there is no unified legal framework or consensus among nations or international organizations regarding artificial intelligence. Therefore, an organization with broad capacity and scope, such as the UN, is needed to harmonize these differing perspectives. The UN plays a crucial role in defining limits on AI development and usage to ensure it does not endanger humanity, does not make essential life decisions on behalf of individuals, and is geared toward the sustainability of human life. The UN can mitigate AI-related risks, such as threats to privacy, security, and discrimination, while ensuring that AI benefits are distributed fairly among nations. Future legal frameworks established by the UN should promote transparency, accountability, and collaboration among stakeholders, including the private sector, civil society, and developing countries, to bridge technological divides and encourage responsible innovation. Ideally, the use and development of AI should adhere to three key principles: first, AI should not make decisions directly affecting humans; second, users and developers should be held legally accountable for AI actions; and third, AI development should be intended for human welfare, with strict prohibition against AI weaponization (non-proliferation)."> <![endif]-->) di masa damai pada tingkat global. Penelitian ini juga menginventarisasi berbagai macam penggunaan dan pengembangan AI serta menganalisis regulasi ideal yang seharusnya diterapkan pada tingkat global agar AI tidak menimbulkan kerugian bagi manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Saat ini belum ada aturan hukum maupun kesepahaman yang seragam antara negara maupun organisasi internasional terkait kecerdasan buatan. Oleh karena itu, diperlukan peran organisasi yang memiliki kapasitas dan cakupan luas, seperti PBB<!--[if supportFields]> TA \s "PBB" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->, untuk menyatukan perbedaan pandangan yang ada. Peran PBB sangat penting dalam menentukan batasan pengembangan dan penggunaan AI agar tidak membahayakan manusia, tidak mengambil keputusan esensial dalam kehidupan manusia, serta memastikan bahwa AI dikembangkan demi keberlanjutan hidup manusia. PBB dapat mencegah risiko yang ditimbulkan oleh AI, seperti ancaman terhadap privasi, keamanan, dan diskriminasi, serta memastikan distribusi manfaat AI secara adil di antara negara-negara. Aturan hukum yang dibentuk oleh PBB ke depannya harus mempromosikan transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan negara berkembang, guna mengurangi kesenjangan teknologi dan mendorong inovasi yang bertanggung jawab. Secara ideal, penggunaan dan pengembangan AI perlu memperhatikan tiga prinsip pokok: pertama, AI tidak boleh mengambil keputusan yang berdampak langsung terhadap manusia; kedua, pengguna dan pengembang bertanggung jawab secara hukum atas tindakan AI; dan ketiga, pengembangan AI harus bertujuan untuk kemaslahatan manusia serta melarang pengembangan AI dengan teknologi senjata (non-proliferasi). This study aims to describe the role of the United Nations in establishing legal certainty by regulating the restrictions on the use and development of artificial intelligence (AI<!--[if supportFields]> TA \s "AI" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->) during peacetime at a global level. It also seeks to inventory the various uses and developments of AI and analyze the ideal regulatory framework that should be applied globally to prevent AI from causing harm to humanity. The research method used is juridical-normative. Currently, there is no unified legal framework or consensus among nations or international organizations regarding artificial intelligence. Therefore, an organization with broad capacity and scope, such as the UN, is needed to harmonize these differing perspectives. The UN plays a crucial role in defining limits on AI development and usage to ensure it does not endanger humanity, does not make essential life decisions on behalf of individuals, and is geared toward the sustainability of human life. The UN can mitigate AI-related risks, such as threats to privacy, security, and discrimination, while ensuring that AI benefits are distributed fairly among nations. Future legal frameworks established by the UN should promote transparency, accountability, and collaboration among stakeholders, including the private sector, civil society, and developing countries, to bridge technological divides and encourage responsible innovation. Ideally, the use and development of AI should adhere to three key principles: first, AI should not make decisions directly affecting humans; second, users and developers should be held legally accountable for AI actions; and third, AI development should be intended for human welfare, with strict prohibition against AI weaponization (non-proliferation).">
Peran Perserikatan Bangsa – Bangsa Dalam Mengantisipasi Dampak Negatif Artificial Intelligence (AI): Pengaturan Pembatasan Pengembangan dan Penggunaan AI
Susilo Hadi Prabowo, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., MA.
2025 | Tesis | S2 Ilmu Hukum
Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan peran Perserikatan Bangsa – Bangsa dalam menciptakan
kepastian hukum melalui pengaturan pembatasan penggunaan dan pengembangan
kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI<!--[if supportFields]> TA \s "AI" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->) di masa damai pada tingkat
global. Penelitian ini juga menginventarisasi berbagai macam penggunaan dan
pengembangan AI serta menganalisis regulasi ideal yang seharusnya diterapkan
pada tingkat global agar AI tidak menimbulkan kerugian bagi manusia. Metode
penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif. Saat ini belum ada aturan
hukum maupun kesepahaman yang seragam antara negara maupun organisasi
internasional terkait kecerdasan buatan. Oleh karena itu, diperlukan peran
organisasi yang memiliki kapasitas dan cakupan luas, seperti PBB<!--[if supportFields]> TA \s "PBB" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->, untuk menyatukan perbedaan
pandangan yang ada. Peran PBB sangat penting dalam menentukan batasan
pengembangan dan penggunaan AI agar tidak membahayakan manusia, tidak mengambil
keputusan esensial dalam kehidupan manusia, serta memastikan bahwa AI dikembangkan
demi keberlanjutan hidup manusia. PBB dapat mencegah risiko yang ditimbulkan
oleh AI, seperti ancaman terhadap privasi, keamanan, dan diskriminasi, serta
memastikan distribusi manfaat AI secara adil di antara negara-negara. Aturan
hukum yang dibentuk oleh PBB ke depannya harus mempromosikan transparansi,
akuntabilitas, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan, termasuk sektor
swasta, masyarakat sipil, dan negara berkembang, guna mengurangi kesenjangan
teknologi dan mendorong inovasi yang bertanggung jawab. Secara ideal,
penggunaan dan pengembangan AI perlu memperhatikan tiga prinsip pokok: pertama,
AI tidak boleh mengambil keputusan yang berdampak langsung terhadap manusia;
kedua, pengguna dan pengembang bertanggung jawab secara hukum atas tindakan AI;
dan ketiga, pengembangan AI harus bertujuan untuk kemaslahatan manusia serta
melarang pengembangan AI dengan teknologi senjata (non-proliferasi).
This study aims
to describe the role of the United Nations in establishing legal certainty by
regulating the restrictions on the use and development of artificial
intelligence (AI<!--[if supportFields]>
TA \s "AI" <![endif]--><!--[if supportFields]><![endif]-->) during
peacetime at a global level. It also seeks to inventory the various uses and
developments of AI and analyze the ideal regulatory framework that should be
applied globally to prevent AI from causing harm to humanity. The research
method used is juridical-normative. Currently, there is no unified legal
framework or consensus among nations or international organizations regarding
artificial intelligence. Therefore, an organization with broad capacity and
scope, such as the UN, is needed to harmonize these differing perspectives. The
UN plays a crucial role in defining limits on AI development and usage to
ensure it does not endanger humanity, does not make essential life decisions on
behalf of individuals, and is geared toward the sustainability of human life.
The UN can mitigate AI-related risks, such as threats to privacy, security, and
discrimination, while ensuring that AI benefits are distributed fairly among
nations. Future legal frameworks established by the UN should promote
transparency, accountability, and collaboration among stakeholders, including
the private sector, civil society, and developing countries, to bridge
technological divides and encourage responsible innovation. Ideally, the use
and development of AI should adhere to three key principles: first, AI should
not make decisions directly affecting humans; second, users and developers
should be held legally accountable for AI actions; and third, AI development
should be intended for human welfare, with strict prohibition against AI weaponization
(non-proliferation).
Kata Kunci : Kecerdasan Buatan, Perserikatan Bangsa – Bangsa, Hak Asasi Manusia