Maraknya alih fungsi lahan pertanian di perkotaan mengancam ketahanan pangan nasional. Pemerintah mengupayakan pencegahan perubahan guna lahan ke non-pertanian dengan Keputusan Menteri ATR/BPN tahun 2021 yaitu penerbitan peta lahan sawah dilindungi (LSD). Namun, Pemerintah Kota Surakarta menolak keputusan tersebut dan mengajukan verifikasi agar lahan pertanian di wilayah adminstrasinya dapat dikeluarkan dari peta LSD nasional. Hal ini didasarkan pada dokumen RTRW Kota Surakarta 2021-2041 yang telah disusun sebelumnya. Pengembangan kawasan pertanian tidak direncanakan di dalamnya, sementara penataan ruang diarahkan untuk kegiatan industri kreatif berbasis budaya.
Penelitian ini bertujuan menganalisis lahan pertanian di Kota Surakarta dan memahami konteks dari penghapusan LSD tersebut. Metode yang diterapkan yaitu kualitatif dengan cara berpikir induktif. Metode ini dipilih agar bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap kawasan pertanian di Kota Surakarta dan sejumlah hal yang dapat tersingkap di belakangnya. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi antara kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah dengan kondisi eksisting lahan pertanian. Sejumlah kontradiksi menjadi paradoks dalam penghapusan LSD seperti masih terdapat lahan pertanian dan petani penggarap, perkumpulan petani yang masih aktif, mendapat subsidi pupuk, dan tumbuhnya kelompok masyarakat di bidang pertanian. Kota Surakarta memiliki potensi untuk mempertahankan lahan produktif. Advokasi intensif bagi seluruh pihak menjadi krusial mengenai pentingnya menjaga lahan produktif dari alih fungsi. Melalui advokasi, diharapkan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah akan lebih mendukung sektor pertanian serta mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait tata ruang.
The increasing conversion of agricultural land in urban areas represents a significant threat to national food security. The government attempts to prevent land use change to non-agricultural purposes by issuing protected paddy land (LSD) maps, as outlined in the 2021 Minister of ATR/BPN Decree. However, the Surakarta City Government rejected the decree and applied for verification so that agricultural land in its administrative area could be excluded from the national LSD map. This is based on the previously prepared Surakarta City RTRW 2021-2041 document, which does not include any plans for developing agricultural areas. Instead, the document outlines a vision for the spatial arrangement of the city to be directed toward culture-based creative industry activities.
This research project aims to analyze the agricultural land in Surakarta City and gain insight into the context of LSD removal. The research method employed is qualitative with inductive thinking. This approach was selected to facilitate a comprehensive understanding of the agricultural area in Surakarta City and the insights that can be gleaned from it. Data were collected through interviews, observation, and document analysis.
The results show that there are contradictions between the policies determined by the government and the existing conditions of agricultural land. Several contradictions become paradoxes in eliminating LSD, such as the existence of farmland and tenant farmers, active farmer associations, fertilizer subsidies, and the growth of community groups in agriculture. Surakarta City has the potential to maintain productive land. Intensive advocacy for all parties is crucial regarding maintaining productive land from conversion. Through advocacy, it is expected that policies formulated by the government will be more supportive of the agricultural sector and encourage community participation in the decision-making process related to spatial planning.
Kata Kunci : lahan sawah dilindungi (LSD), paradoks, pertanian perkotaan, manajemen perkotaan, Kota Surakarta